18.4.14
17.4.14
Kotak Hitam
Entahlah, aku tak bisa mengingat
semuanya dengan sempurna. Aku hanya ingat ketika rintikan hujan terjun
perlahan-lahan, dengan hati-hati ke tanah kering di taman kecil depan rumahku.
Taman mungil sederhana, tampak sesak dengan bunga warna-warni dan rumput liar yang
saling berdesakkan. Mereka tampak bahagia ketika harus beradu dengan serbuan
titik-titik air dari langit yang menghujam tanpa ampun. Hmm... meskipun ada
sebagian dari pasukan hujan yang lebih memilih untuk terjun secara gemulai dan
anggun. Ya, mereka dengan luwesnya merambat di kaca bagian luar dari jendela
ruang tamu, mengalir tepat di depan kedua bola mataku. Di depan kedua bola
mataku yang menatap jauh ke luar rumah. Jauh ke sana, entah kemana. Sangat jauh
hingga semuanya terasa kosong dan tak nyata. Begitulah. Begitulah caraku
menghabiskan sisa senja hingga gelap menceraiku dari tatapan kosong.
Sudah kubilang berulang kali kan?
Tak ada lagi yang bisa kuingat selain hujan dan tatapan kosongku. Sungguh,
semua terjadi begitu saja, berlalu dengan cepat tanpa menyilakanku untuk
mengingat semua peristiwa yang seharusnya bisa kuceritakan kembali padamu.
Aneh, memang. Aku pun heran mengapa hanya bagian itu saja yang tak bisa
kuingat, barang secuil pun. Bagian yang entah mengapa, aku tahu itu terjadi
tapi aku tak tahu apa yang terjadi. Hilang ingatan? Mungkin. Tapi sepertinya
terlalu berlebihan karena aku hanya lupa pada satu kenangan. Satu kenangan yang
seolah-olah ingatanku menolak untuk membahasnya lagi, merundingkannya apalagi
menceritakan ulang padamu. Hmm... Sebentar, beri aku waktu sejenak untuk
memikirkan suatu cara. Mungkin saja ini adalah cara terbaik untuk memecahkan
teka-teki kenangan yang hilang. Begini, bagaimana jika aku berunding dengan
ingatanku terlebih dahulu, berdua saja? Benar-benar perbincangan intim antara aku
dan ingatanku supaya ingatanku mau merundingkan kenangan yang hilang agar
nantinya kenangan yang hilang itu bisa kuceritakan kembali padamu. Bagaimana?
Bukan ide yang buruk kan? Apapun hasilnya, berhasil atau tidak itu bukan
urusanku. Aku hanya berusaha membujuk ingatanku supaya mau membongkar rahasia
terbesarnya. Rahasia terbesar yang disembunyikan rapat-rapat hanya untuk
menghilangkan sosok kenangan yang sebenarnya masih ada. Entah, kenangan macam
apa yang berani-beraninya membuat ingatanku begitu ketakutan, bahkan hanya
untuk mengakui keberadaannya. Sampai berpura-pura lupa, berpura-pura tak pernah
tahu, repot-repot mencari sudut tergelap untuk menyembunyikan kenangan sial
itu. Ah, mengapa jadi jengkel begini ya? Huh.
Hujan sepertinya masih marah.
Entah marah pada siapa, karena apa dan sampai kapan. Aku hanya penonton dan
tugasku sangatlah sederhana. Ya, menyimak bagaimana tetes demi tetes air itu
jatuh, menerka nada yang mungkin tercipta dari cipratannya, menikmatinya.
Menikmati tiap fragmen dalam peristiwa hujan. Menikmati dari bangku utama,
bangku yang diatur sedemikian rupa agar posisi paling nyaman bisa didapatkan.
Bangku sederhana dari kayu jati berumur ratusan tahun, tanpa bantalan dan
ukiran yang berlebihan. Bangku coklat keemasan yang sengaja diletakkan di
balkon putih. Satu-satunya bangku yang dipasangkan dengan meja tanpa laci di
sebelah kanannya. Bangku kesayangan yang tak pernah bosan menjadi teman baik di
suasana yang sama. Suasana yang tercipta ketika hujan deras turun di malam
hari, saking derasnya sampai-sampai cekcok dahsyat tetangga sebelah pun tak
terdengar. Kejadian yang sama, berulang-ulang tapi bangku seolah tak jenuh
apalagi protes. Tidak seperti ingatanku yang kini sedang mengomel tanpa henti
karena jengkel dengan segala bentuk interogasi. Hahaha... Tampaknya aku harus
berhenti sejenak agar ingatanku pun berhenti merajuk. Baiklah, tiga belas hari
sudah lebih dari cukup untuk tahap awal misi ini. Kira-kira seminggu lagi aku
akan mencoba cara lain yang jauh lebih baik. Cara paling ampuh untuk
melumpuhkan segala bentuk pertahanan ingatanku. Yap, pasti ada cara terbaik
untuk menemukan identitas kenangan yang terkekang tanpa celah. Tujuh hari lagi
dan semuanya akan jelas, tujuh hari lagi.
Hari ini hujan tidak datang.
Sudah empat hari berlalu sejak hari terakhir aku duduk di balkon. Karena tidak
ada hujan maka tempat paling nyaman untuk menghabiskan siang adalah kamar
tidur. Ruang pribadi dengan jendela setengah lingkaran yang terpasang apik di
dinding biru muda pastel, dilengkapi pendingin ruangan dan televisi persegi
panjang tipis. Di salah satu sudut ruang, meja kecil merah muda terlihat sangat
manis. Di sudut lain, almari putih tulang tampak menawan dengan
kesederhanaannya. Dan di atas kasur berkualitas super inilah tempatku
merebahkan diri, menengadahkan kepala memandang langit-langit berhias lukisan
gumpalan awan. Sungguh, tak ada siang yang lebih surgawi daripada saat ini.
Semuanya sangat sempurna. Membuatku tak ragu untuk mencoba memejamkan mata.
Perlahan-lahan, memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Sesekali
kelopak mataku memberanikan diri untuk mengintip detik jam dinding meski dengan
gelagatnya yang malu-malu, sambil terus menahan kantuk. Tepat ketika jarum
penunjuk menit berada di antara angka tiga dan empat, akhirnya aku terlelap. Memasuki
dunia gelap dan fana, memulai sebuah fantasi yang dirangkai dalam alur cerita
tak terduga. Awalnya hitam, lambat laun menjadi abu-abu lalu putih menyilaukan.
Beberapa saat terhenti di latar putih lalu beralih ke suatu fokus. Dataran
antah-berantah, sangat luas berselimut rerumputan hijau pada bukit-bukitnya.
Sendirian, di tempat asing tanpa satupun papan penanda lokasi. Senyap, tak ada
suara sama sekali. Kosong, benar-benar tak ada jejak kehidupan. Hampa. Bingung.
Hampa. Kesal. Hampa. Sedih. Hampa. Takut. Hampa. Takut. Takut. Takut dan takut.
Aku sangat takut. Apa yang harus kulakukan? Mengapa tiba-tiba berada di sini? Adakah
pintu keluar? Bagaimana cara mencarinya? Tolonglah, siapapun jawab aku. Tolong!
Hitam, semuanya tampak hitam. Membuka
dan memejamkan mata pun tak ada bedanya. Hanya hitam, hitam dan hitam. Rasanya
aneh, sungguh. Melayang-layang di udara, raga seolah larut dalam gelap.
Perasaan yang sama di tempat berbeda. Ya, ketakutan yang sama masih saja menghantui
bahkan semakin menjadi di dalam gulita. Sial, rupanya aku tersesat terlalu
jauh. Bagaimana bisa begini ya? Sialan! Semakin lama aku justru semakin muak!
Aku harus marah pada siapa?! Siapa yang harus kusalahkan?! Siapa hah?! Siapaaaa?!
“Dirimu sendiri…”
“??!!”
“Dirimu sendiri yang salah, dasar
tolol.”
“Hah?!”
“Hahaha…”
“Sialan! Keluar kau! Jangan hanya
sembunyi!”
“Bukannya tidak mau, aku hanya
takut.”
“Maksudmu?!”
“Ah… Kamu tidak berubah ya...
Masih sama, masih selalu tunduk dan patuh pada emosi. Sudah kubilang kan, aku
terlalu takut untuk menampakkan diri. Takut untuk membuatmu semakin takut.”
“Tak usah basa-basi, kampret!”
“Hmm… Bagaimana ya? Tapi jangan
salahkan aku, ini maumu sendiri lho…”
Sejenak suasana kembali hening. Degup
jantung yang diburu kecemasan terpaksa mengisinya. Aku tidak bisa melakukan
apapun lagi, hanya diam dan menunggu sesuatu yang menakutkan benar-benar
terjadi. Dari kejauhan, entah dari sudut sebelah mana, sayup-sayup terdengar
suara bising. Dengan tiba-tiba mendekat sangat cepat lalu berdentum keras di telingaku.
Seketika cipratan merah menyala dalam gelap, lalu berubah menjadi pasang-pasang
mata yang berkedip dan memelototiku. Terus dan terus menatapku tajam hingga
terdengar suara tawa terbahak-bahak. Tak lama, suara perbincangan dan gurauan menambah
hiruk pikuk. Teriakan dan makian pun turut membuat suasana semakin berisik. Semua
membaur menjadi satu, berulang-ulang dengan tempo yang dipercepat. Hingga
akhirnya lengkingan teriakan panjang memecah suasana. Isak tangis yang meledak lalu
menutup semuanya. Menutup semua suara-suara berisik, semua percakapan-percakapan,
semua janji dan canda tawa yang pernah didengar dan diucap. Menutup semua kata
yang datang dari masa dimana segalanya begitu indah dan menyenangkan.
Repot-repot datang kemari hanya untuk menyapaku, dengan bentuk yang sama sekali
berbeda.
Terik mentari semakin menyengat. Dengan
segera aku membuka mata, terbangun dari mimpi buruk tentang masa lalu. Kaget,
mengapa aku berada di balkon? Bukankah seharusnya aku tertidur di kamar?
Bagaimana bisa begini? Aneh, sungguh aneh. Apa mungkin aku benar-benar hilang
ingatan? Atau memang ada yang sengaja mengerjaiku? Siapa? Bukankah aku hanya
sendiri di sini? Ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu lelah, hingga tak bisa
mengingat bagaimana semuanya bermula. Aku segera beranjak dari lantai balkon.
Lantainya sedikit basah, menyisakan semburan air hujan yang entah turun kapan. Sambil
berlalu, kutengok meja di sudut balkon. Aku terdiam sesaat, penuh curiga dan
tanda tanya. Semakin lekat aku menatap, semakin langkahku mendekat. Rupanya
memang benar, benda yang terbuat dari kayu berbentuk kubus dengan balutan hitam
pekat itu benar-benar ada. Di depan mataku tersuguh kenyataan yang paling ingin
aku ingkari. Kenyataan yang berhasil membohongiku di masa lalu. Kenyataan yang
sebelumnya telah berhasil disembunyikan dengan rapi oleh ingatanku sehingga aku
tak menyadarinya. Kenyataan yang merupakan jawaban dari teka-teki yang selama
ini aku selidiki dengan susah payah. Kenyataan yang pada akhirnya ingin aku
musnahkan.
Angin berhembus lembut di sela
langkah kakiku. Aku beranjak, pergi meninggalkan kotak hitam itu sendirian.
Mulai berkelana untuk mencari dan menemukan kotak lain. Kotak kosong yang
nantinya dipenuhi dengan berbagai hal baru. Kotak yang mungkin saja berakhir
sama, menjadi hitam. Mungkin juga berakhir untuk menjadi yang terakhir. Tenang,
semua hanya masalah waktu. Aku hanya perlu mengingkari lelah dan melanjutkan
langkah. Langkah kaki yang tak terasa sudah semakin menjauh dari balkon
rumahku. Dari sana aku mendengar kotak hitam itu berbisik.
“Kau membenciku?”
“Tentu saja.”
“Begitukah?”
“Ya.. Dan cara terbaik untuk membencimu adalah dengan tidak
membencimu.”
Subscribe to:
Posts (Atom)