30.11.14
27.11.14
Di Suatu Perjalanan
Dan pagi masih sepi. Aku berjalan
menuju cahaya temaram di perempatan ujung jalan. Lampu jalan yang tampak reyot,
memancarkan sinar kuning yang begitu hangat. Sesekali jangkrik berderik.
Sesekali kereta api berlari bersama angin, menyapa langit dengan sapaan merdu
peluit. Masih ada bulan setengah lingkaran terpasang di antara awan hitam.
Selebihnya sunyi.
Bukannya benci keramaian, tapi
aku hanya kebetulan sendiri. Sepi tidak terlalu menggangguku. Dan sendiri bukan
berarti sepi. Banyak hal yang bisa aku lakukan untuk menciptakan keramaian
dalam sepi. Salah satunya dengan bersenandung. Mengeluarkan gelombang bunyi
yang tersusun rapi, terseok-seok mencari celah diantara jangkrik, langkah kaki
dan hembus angin. Dengan begitu kesunyian akan lenyap. Mereka akan hilang
bersama keramaian yang kuciptakan. Pelan-pelan menghapus kesendirian. Namun
entah mengapa aku justru merasa semakin sepi.
Sejujurnya aku tak begitu paham
arti dari kesendirian itu sendiri. Bagaimana kesendirian selalu dikaitkan
dengan sepi, atau bagaimana keramaian selalu dikaitkan dengan kebahagiaan. Apa
mungkin aku terlalu bodoh untuk memahami hal yang paling wajar dimengerti oleh
semua orang? Atau aku adalah orang jenius yang pertama kali menanyakan arti
kesendirian? Entahlah. Aku tidak terlalu memusingkan apa jawabnya. Aku hanya
ingin tahu bagaimana rasanya kesendirian dalam sepi dan bagaimana rasanya
kesendirian dalam bingar. Kesendirian mana yang lebih menyiksa? Atau keduanya
sama-sama sangat menyiksa? Jika keduanya berhasil menyiksaku, apakah itu
artinya aku menjadi orang yang paling malang? Apakah itu artinya aku menjadi
orang yang paling mengerti kesendirian? Jika iya, bukankah aku semestinya
bahagia, karena berhasil menjadi satu-satunya orang yang mengetahui rahasia
dari misteri kesendirian? Ah, mungkin saja hanya khayalku yang selalu
mengidamkan kebahagiaan, padahal yang aku punya hanyalah kesendirian. Lalu aku
menganggap bahwa menjadi orang yang paling dekat dengan kesendirian adalah
salah satu bentuk dari kebahagiaan. Ah, sudahlah. Segala kesendirian ini
terlanjur membawa pikiranku berkelana terlalu jauh. Sepertinya sudah cukup
bagiku untuk mempertanyakan apa itu kesendirian, sepi, keramaian dan
keterkaitannya.
Langit mulai berwarna. Cahaya
kuning temaram yang sedari tadi semakin redup, kini tergantikan oleh semburat
rona merah di ufuk timur. Kakiku sudah lelah melangkah. Pun pikirku. Aku
berdiam sejenak, berkutat dalam tanda tanya yang tak lelah membujukku untuk
segera memilih jalan pulang. Dengan hela napas panjang, kuputuskan untuk
mengambil arah kiri, sembari memikirkan apa arti dari kebahagiaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)