26.1.15
10 Menit
Ada sepuluh petak keramik
melintang ke selatan, sementara delapan belas petak lainnya membujur ke timur.
Keramik berwarna putih kecoklatan dengan semburat merah di tiap sisinya tampak
sama dari sini. Padahal jika dilihat dengan seksama, tiap coraknya sama sekali
berbeda. Ada yang menyerupai kumis kucing tanpa mata, ada yang seperti balon
ada pula yang mirip wajah Ibuku. Jika ingin mengamati lebih dalam lagi, ada
beberapa keramik yang bolong-bolong. Dari sana keluar semut hitam yang berukuran lebih besar
dari semut merah bergantian dengan semut hitam yang berukuran lebih kecil dari
semut merah, masuk ke dalam membawa serpihan-serpihan bahan pangan. Begitu
terus sampai nanti.
Tiba-tiba cicak mendekati salah
satu lubang hitam tersebut, merayap pelan-pelan lalu tiba-tiba menyergap
kawanan semut hitam malang. Si cicak dengan santainya menjilati lubang beserta
semua isinya dengan cekatan. Setelah itu cicak berlari ke tembok putih yang
berada sekitar delapan meter dari tempatku sekarang duduk. Cicak lalu menembus
celah eternit yang mulai keropos diserang jamur warna hitam. Dari sana
terdengar cekikiknya, tentu saja bersama kawan-kawan lainnya.
Eternit yang mulanya putih, kini
sedikit kekuningan. Kadang hujan terlalu jahat menyerang atap rumahku yang sudah
tua, sehingga airnya masuk lalu menetes sedikit demi sedikit ke badan eternit.
Eternit yang mulanya muda pun kini menjadi ikut-ikutan tua. Begitu pun aku yang
nantinya berumur enam puluh tahun, keriput sana-sini memenuhi sekujur badan,
karena dimakan usia. Lalu nanti cucuku bertanya mengapa pesawat bisa terbang
atau bagaimana cara menirukan suara kucing. Lalu setelah lelah berulang-ulang
menjawab aku mengembalikan tubuh mungil itu ke gendongan Ibunya yang tak lain
adalah anakku.
Bagaimana ya rasanya menjadi tua?
Nanti sudah tidak bisa berlari sana-sini, berjalan pun lambat. Teman-teman ada
yang pergi lebih dulu, ada yang masih hidup tapi juga tak akan sering bertemu.
Nanti makan jadi susah, tak bisa mengunyah makanan enak; bisanya makan bubur.
Bagaimana ya rasanya menjadi tua?
Aku memegang helai-helai
rambutku. Masih hitam, untungnya masih hitam.
“Jangan tiba-tiba menjadi putih
yaa..”
Sembari mengusap-usap segenggam
rambut dengan jari-jari tanganku, terlihat sesuatu berwarna merah muda bergerak
memutar ke arah bawah. Rupanya jarum detik jam dinding kamarku. Jarum menit
yang tadi terdiam di angka tiga akhirnya memutuskan untuk transit di angka
lima. Rupanya sudah sepuluh menit. Terdengar teriakan Ibuku yang memanggil
berulang-ulang, menyuruhku untuk segera mandi, tanpa alasan lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)