Matamu
berkedip, begitu pun aku. Di balik kaca tipis yang menumpu pada hidungmu, aku
bisa menakar seberapa hitam warnamu dibanding warnaku. Tak sepekat yang kuduga,
cenderung kecoklatan dengan lingkaran dalam
yang lebih gelap, dihiasi detil-detil kecil yang lebih terang di sekelilingnya.
Dari sana terpancar cahaya yang begitu teduh dan menghanyutkan. Tanpa sadar membuat kita sepakat untuk memulai sebuah perbincangan tanpa kata. Diam-diam bertukar sapa,
berbagi kabar, bercerita. Pelan-pelan memberanikan diri untuk saling menerka
rasa, memburu celah untuk menyelipkan asa di antara tanda dan tanya. Semua
terbungkus rapi dalam sebuah rahasia, tak akan ada yang tahu. Hanya kita berdua
yang mendengar betapa suara hati bisa sangat berisik di lintasan sepanjang tiga
petak ubin besar. Kemudian matamu berkedip untuk kedua kalinya, begitu pun aku.
Tertegun, ragu-ragu mengakui bahwa satu detik yang tadi memang lebih lama dari
biasanya. Lalu kita sama-sama memalingkan wajah, menatap langit-langit, menghela
napas panjang dan kembali melangkahkan kaki. Seketika kesunyian kembali mengisi tiap
sudut ruang. Ah, tampaknya semua imaji memang harus diakhiri dengan, “Mungkin hanya perasaanku saja...”
No comments:
Post a Comment