Kira-kira
sudah ratusan motor yang melewati lampu merah di bawah sana, menurut
perhitunganku. Dia juga menatap kaca yang sama, terkadang mencoba melakukan hal yang serupa denganku karena penasaran seperti apa rasanya. Sampai dia menyadari bahwa
ternyata rasa bosan datang lebih cepat dari yang dia perkirakan sebelumnya. Akhirnya,
dia bersuara. Permainan pun dimulai.
---
“Kenapa diam
saja, sih?”
Tidak, kamu salah lagi. Kali ini kamu
benar-benar salah sangka. Harusnya kamu tidak menanyakannya, itu bukan
kata-kata yang perlu kamu ucapkan, sungguh.
“Rahasia, ya?”
Mungkin bisa dibilang begitu, tapi bukan itu
maksudku. Sebenarnya, kamu sudah paham kan? Tidak ada yang perlu aku
sembunyikan darimu, begitu pula sebaliknya. Berhentilah berpura-pura, menurutku
itu tidak lucu.
“Hei, mau
sampai kapan begini terus?”
Jangan khawatir, aku tidak akan pernah
menyesal karena telah percaya padamu. Aku akan selalu percaya bahkan melebihi
rasa percayamu pada diri sendiri. Kamu percaya padaku juga kan?
“Jadi kamu
membenciku? Benar kan?”
Usaha yang bagus, tapi aku tidak akan bisa membencimu
meski kamu sendiri yang terus-menerus memaksaku. Bagaimanapun juga, aku tidak
mau kalah darimu. Kalau kamu sengaja menyerah, mungkin saja ceritanya akan
sedikit berbeda.
“Baiklah,
sekarang aku menyerah. Senang?”
Sama sekali tidak, bodoh.
“Sudah ah,
sampai jumpa lagi. Kapan-kapan, mungkin…”
Benar, pergi saja sana yang jauh. Tidak akan
ada kapan-kapan kecuali kamu benar-benar memahaminya. Ah, padahal aku sangat
yakin bahwa sebenarnya kamu paham tapi sengaja melakukannya padaku. Kamu
sendiri yang memulai permainan ini, tentu tahu peraturannya. Tanpa perasaan
itu, semua akan berakhir dengan sia-sia. Tapi tetap saja aku menyukaimu,
mungkin selamanya.
“Hmm, kamu
yakin tidak mau mengucapkan kata-kata perpisahan?”
Aduh, kamu ternyata memang gila. Siapa sih
yang bilang ingin berpisah? Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Toh, aku tidak
pernah menganggapnya sebagai perpisahan karena semua petualanganmu itu
sementara.
“Katakanlah
sesuatu atau kamu akan menyesal…”
Sudah kubilang, kamu tidak akan pernah bisa
memaksaku. Kamu hanya belum menyadarinya, mungkin sekarang memang lebih baik
kamu terus berbicara seperti itu, menanyakan hal-hal yang tidak masuk akal
berulang-ulang dan aku akan tetap diam.
“Apakah aku
sama sekali tidak ada artinya bagimu?”
Benar, pertanyaan semacam itulah yang aku
harapkan.
“Begini, aku
tidak akan pernah tahu apa yang kamu pikirkan jika kamu tidak mengatakannya…”
Bohong, kita sudah bertahan selama ini dan
semua baik-baik saja. Entah bagaimana, kita selalu berhasil menemukan cara
untuk saling memahami perasaan masing-masing meski tanpa kata-kata.
“Tahu tidak,
sekarang aku memikirkan apa?”
Bagaimana caranya supaya kamu bisa menang
dariku?
“Aku
membayangkan andai kita tidak pernah bertemu, andai kita tidak pernah terperangkap
dalam situasi seperti ini, andai kita akan mati dengan tetap menjadi orang
asing satu sama lain…”
Kamu bebas membayangkan apapun yang kamu
mau, tapi nyatanya kamu akan tetap bertemu denganku. Kamu akan tetap bertemu
denganku, dan hanya denganku. Jika tidak terjadi sekarang, maka di kehidupan berikutnya
pasti kamu akan bertemu denganku. Selamat, kamu telah membuang waktumu dengan
pengandaian yang sia-sia.
“Kamu pasti
pernah memikirkannya juga kan?”
Aku sangat menyayangimu, percayalah.
“Mungkin saja
aku lebih bahagia bersama orang lain. Seharusnya aku melewatkanmu dan menunggu
lebih lama, tidak perlu tergesa-gesa untuk memutuskan sebuah pilihan…”
Maka aku hanya perlu menunggumu lebih lama
daripada biasanya. Bukan masalah besar jika kamu menginginkan lebih, manusia
memang tidak pernah merasa puas.
“Kenapa harus
kamu sih? Dan kenapa harus aku?”
Aku tidak begitu yakin, tapi menurutku tidak
ada jawaban yang pantas. Anggap saja semua ini terjadi karena kebetulan. Jangan
mempersulit diri sendiri dengan pertanyaan berat, kamu belum tentu bisa mendapatkan
jawaban yang sepenuhnya melegakan.
“Rasanya, aku
jadi ingin mati saja deh… Aku tidak mau bertemu siapa-siapa dan selamanya akan
sendirian…”
Jangan, aku tidak tega melihatmu menjadi
arwah penasaran.
“…”
Kenapa tiba-tiba diam? Apakah sekarang
giliranku?
“Aku
sebenarnya sangat menyukai keheningan ini, tenang dan nyaman terbungkus dalam rasa
aman, merangkul kita dalam ketidaktahuan yang menyenangkan…”
Akhirnya kamu memahaminya juga, aku senang
sekali.
“Ah, maksudku
kita selalu menduganya sebagai ketidaktahuan tapi sebenarnya kita sengaja
melakukan itu karena sudah tidak ada lagi hal yang perlu kita pastikan…”
Sejujurnya, sekarang aku mulai merasa kalah
darimu. Hei, kapan giliranku?
“Aku ingin
mati karena terlalu senang, dan ketika hidup kembali aku akan mengulangi kesalahan
yang sama. Aku ingin mati lagi karena terlalu senang dan kamu tahu apa sebabnya…”
Baiklah, sepertinya sekarang memang sudah
giliranku. Bersiaplah, aku akan mulai bertanya mengenai teka-teki yang serupa
dengan milikmu. Permainan harus terus berlanjut, karena begitulah cinta selalu
mempermainkan kita sampai nanti, kita akan selalu khawatir dan menduga hal-hal
buruk menyakitkan yang mungkin bisa saling kita lakukan diam-diam dan
memastikan kesetiaan dan menanyakan apakah cinta hari ini masih sama dengan yang
kemarin dan menangis karena takut bila esok tidak ada cinta yang tersisa dan menjalani
hari dengan kesadaran penuh meski tahu bahwa satu-satunya aturan dalam
permainan ini adalah tidak ada yang boleh menang. Cintalah yang harus selalu
menang, dan kita berdua sama-sama bersedia dipermainkan olehnya dengan sukarela.
No comments:
Post a Comment