Pertemuanku
dengan buku bukanlah sesuatu yang luar biasa, mungkin malah tidak memiliki
nilai-nilai keindahan untuk dijadikan bumbu dalam sebuah cerita yang sarat
dengan inspirasi supaya layak untuk selalu dikenang oleh orang-orang di kotak
terdalam ingatan mereka. Mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan yang
sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku tidak terlahir dalam keluarga
yang kental akan budaya literasi, aku tidak jatuh cinta dengan buku pada
pandangan pertama, aku bahkan butuh waktu yang lama hanya untuk menyadari
keberadaannya. Aku pernah menganggap buku itu tidak penting karena merasa bahwa
ia bukanlah bahan yang cukup keren untuk dibahas di sela-sela makan malam atau
di sela-sela tayangan televisi yang menawarkan produk-produk ajaib nan utopis.
Aku juga pernah menganggap buku sebagai penemuan paling membosankan yang pernah
ada dalam sejarah peradaban manusia. Aku tidak mengerti bagaimana bisa seseorang
dapat menemukan kesenangan atau kedamaian jiwa hanya dengan memandangi ratusan
lembar kertas yang berisi deretan kata-kata memusingkan sepanjang malam. Aku
ragu untuk memberikan kepercayaanku pada buku dan segala kerumitannya, ragu pada
waktu yang harus diluangkan untuk menghabisinya, ragu pada kejujurannya yang
mungkin kucerna sebagai sebuah kebohongan; atau sebaliknya.
Segalanya
menjadi menarik ketika aku menyadari adanya suatu kekosongan dalam diri yang
entah bagaimana selalu berhasil mengusik di setiap kesempatan, menjadi
kegelisahan yang tak wajar, seiring menuanya usia bersama alam semesta. Aku
merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang banyak hal, tertinggal jauh dalam
putaran-putaran dunia yang tak pernah istirahat, lalu terhenti di barisan
paling belakang. Aku malu pada ketidakmampuanku untuk segera mengisi kekosongan
tersebut seorang diri. Aku juga malu untuk sekadar bertanya pada orang-orang
tentang apa saja yang telah kulewatkan. Aku malu untuk mengakui bahwa begitu
banyak waktu yang telah kubuang sia-sia dengan sengaja. Aku malu karena
terlambat mengetahui bahwa ternyata selama ini aku hanya jalan di tempat,
berlari kencang pun percuma. Aku malu karena menjadi asing pada diri sendiri. Dan
aku malu pada buku yang tetap menatapku lembut sembari menawarkan senyum penuh
maaf yang tulus.
Begitulah, buku
telah menyelamatkanku dengan caranya yang paling sederhana; membiarkanku
menyibak helai-helai aksaranya secara perlahan, tak pernah marah jika sesekali
aku perlu mengintip halaman sebelumnya, dan tak akan dendam bila aku terlanjur
penasaran pada apa yang tersembunyi di akhir cerita. Buku akan selalu seperti
guruku, atau temanku, bahkan orangtuaku. Ah, buku mungkin juga bisa menjadi
kekasihku.
No comments:
Post a Comment