Uang sakunya
hampir habis. Bulan ini selalu sama dengan bulan-bulan yang lalu. Dia hanya
mempunyai satu lembar uang kertas warna hijau. Dua puluh ribu rupiah untuk
bertahan sampai hari Sabtu. Dia memandangi lagi laki-laki yang terlukis di
lembaran itu, bertanya-tanya adakah cara untuk mengenyangkan perutnya selama
sepuluh hari ke depan. Dia memejamkan matanya sejenak lalu membuang nafas
pendek. Kini sorot matanya tampak lebih
bersinar dan penuh keyakinan. Dia mengambil kunci motornya dan segera melesat
menembus malam.
Dia mendengus
kesal, tampak kecewa dengan apa yang dilihat. Semula dia berpikir masih ada
sisa uang yang bisa diambil dari mesin penarik uang di sudut minimarket.
Sekarang semuanya jadi lebih rumit, jari-jarinya sedikit ragu untuk sekadar
meraba kemasan warna-warni yang tersusun di rak-rak putih. Dia memang dikenal
sebagai pemuda yang mudah merasa bersalah tanpa alasan yang pantas. Sejak
memasuki pintu kaca dan mendengar selamat datang dari kasir, sebenarnya dia sudah
bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Entah mengapa yang dikhawatirkan
justru menjadi kenyataan, dia harus membeli sesuatu dari minimarket tersebut.
Dia merasa tidak enak pada banyak hal; pada kasir yang mengawasinya, pada
orang-orang yang sempat mengantri untuk menarik uang, pada waktu yang terbuang
untuk sampai di tempat sekarang ia berpijak, dan tentu saja pada gambar lucu di
bungkus makanan yang sudah menatapnya bahkan sebelum ia mendorong gagang besi
yang mampu membunyikan bel bersuara pendek dengan dua nada.
Dengan cermat
ia meneliti seluruh kata-kata, angka-angka dan tanggal berakhirnya penawaran. Setelah
lima kali mengitari rak yang sama, dia berhenti. Di bagian paling bawah akhirnya
senyum itu mengembang. Tanpa ragu dia mengambilnya, lalu berjalan ke kasir yang
tampak bahagia karena segala kecemasan tentang hal-hal buruk yang mungkin
dilakukan oleh seorang pemuda yang suka mondar-mandir dan tampak miskin itu
sirna.
Dia sampai di
rumah dengan selamat. Pelan-pelan dia membuka plastik warna merah itu dengan
penuh kegembiraan. Tiba-tiba dia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan
segera berakhir. Dia ingat ucapan Pak Ustadz tentang kaitan rezeki dengan orang
mati saat dulu ia masih ingusan. Katanya, semua rezeki duniawi seseorang bakal
habis dan itu terjadi ketika seseorang tadi sudah tidak berada di dunia. Dia
merasa bersalah karena telah bertindak ceroboh dan kelewatan, mengambil terlalu
banyak rezeki sekaligus. Dia tak pernah menyangka bahwa isi dari plastik merah
itu lebih dari sekadar biskuit selai kacang. Baginya itu adalah kejutan terbaik
yang pernah direncanakan meski dia tidak ulang tahun. Dia sekarang merasa
bersalah karena berpikir bisa makan enak seperti bangsawan. Bagaimana tidak,
biskuit selai kacang dengan ukuran mini, dengan ketebalan selai yang pas,
dengan sedikit rasa garam di pinggirnya itu tentu benar-benar berhasil menyelamatkan
hidupnya. Tidak ada lagi uang kertas, namun ada lima puluh keping biskuit dan
sepuluh hari tersisa. Artinya, dia akan kenyang dengan memakan lima keping biskuit
selai kacang setiap hari. Barangkali dia kelaparan, tapi dia melakukannya
dengan cara terhormat. Ide untuk menjadi bangsawan yang hanya mau melahap
makanan seukuran jari tentu saja merupakan penemuan terhebat sepanjang sejarah.
Dia tertawa, senang.
No comments:
Post a Comment