Diam-diam dia
menyukai laki-laki itu, idola dari semua gadis di sekolahnya. Dia pernah
berpikir untuk mengutarakannya, berkali-kali. Sayangnya, niatan itu terpaksa
dia urungkan ketika menyadari sesuatu saat bercermin. Selain takut ditolak, dia
juga malu karena tidak lebih pintar dari semua gadis yang mengelilingi pujaan
hatinya. Karena itulah dia lalu memutuskan untuk rajin tersenyum kepada siapapun,
dimanapun. Dia pikir itu satu-satunya cara untuk menjadi orang baik, setidaknya
memang benar bahwa itu adalah salah satu cara untuk terlihat seperti orang
baik. Sejak saat itu dia terus melakukannya. Selalu tersenyum, tanpa lelah. Menangis
pun tersenyum. Sampai-sampai semua orang dibuatnya bingung dan penasaran, apa
yang tersembunyi di otaknya. Katanya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan di
dunia ini kecuali tersenyum sampai mati. Karena sejak lahir dia terlanjur tidak
cantik dan tidak kaya. Dia juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi
pintar, tapi gagal juga. Akhirnya dia memilih jalan yang tersisa, menjadi orang
baik.
Padahal, dunia
ini tidak sehitam-putih yang dia bayangkan. Tidak ada orang yang benar-benar
baik atau benar-benar jahat. Menurutku sih, dia sudah ditipu habis-habisan oleh
gagasannya sendiri tentang takdir yang tidak bisa diubah. Dia
setengah-setengah, seperti orang yang tidak percaya Tuhan tapi takut pada
setan. Maksudku, kenapa sih dia harus menyerah untuk menjadi pintar? Di antara
semua takdir, hal itulah yang paling bisa diubah, bahkan bisa mengubah takdir
lainnya. Dia terlalu cepat mengambil kesimpulan dan tidak mau mendengarkan
nasehat orang. Makanya aku jadi kesal, lalu aku bilang padanya tentang semua
hal yang kupikirkan. Dia lalu tersenyum. Bayangkan, sudah susah-susah
kujelaskan sedemikian rupa agar dia mengerti, agar dia bisa menjadi orang baik
sungguhan, bukan hanya orang yang terus-terusan tersenyum, agar dia sadar bahwa
dia tidak boleh menjadi orang baik dengan alasan seperti itu, agar dia tidak
terkejut ketika mengetahui fakta bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya orang
baik, agar dia percaya bahwa selama ini yang dipikirkannya itu keliru, tapi dia
cuma tersenyum! Satu kali senyuman tipis!
Aku ingin sekali
memukul wajahnya yang seolah paham tapi tetap tidak mau menurut itu dengan buku
catatan di tanganku sebisa mungkin melalui celah-celah sempit jeruji besi yang sedikit
berkarat. Hampir saja, ketika dia tiba-tiba berkata,
“Kalau begitu, artinya selalu ada yang lebih
hitam atau lebih putih, kan? Makanya, saya suka di sini karena ruangannya putih
semua. Mbak boleh pintar tapi kalau jahat, sama saja dong? Gila, kayak saya
hehe”
Aku pura-pura
tidak mendengar, mencoba cuek pada bagaimana caranya menggerakkan sendi-sendi terkutuk
di rautnya ketika mengatakan hal tersebut dengan manis dan percaya diri sebelum akhirnya
tersenyum kembali. Sialan, sekarang aku jadi penasaran sebenarnya siapa yang
gila.
No comments:
Post a Comment