8.7.11

Insiden Warung Soto Kehujanan


Pagi ini hujan turun deras sekali. Aku berangkat sekolah pukul 06.30 bersama Ayah dengan sepeda motor. Aku melepas sepatuku agar tidak basah. Sampai di sekolah, aku segera berlari kecil ke kamar mandi untuk cuci kaki dan memakai kembali sepatuku. Tentu saja aku terlambat. Ya, lagi-lagi terlambat, seolah tidak ada kata tidak terlambat di sejarah masa sekolahku. Oiya, aku bukanlah anak yang bodoh, menurutku prestasiku cukup baik dan di atas rata-rata.

Langkah pendek kaki-kakiku akhirnya berhenti di mulut kelas. Di dalam kelas, tampak seorang ibu paruh baya berkacamata sedang sibuk menuliskan coretan-coretan aljabar di papan tulis putih. Aku lalu mengetuk pintu.

“Permisi Bu, maaf saya datang terlambat..”

Kelas yang hening sesaat menyambutku hingga aku duduk di sebelah Karina.

“Eh, pelajarannya udah dari tadi? Sekarang suruh ngapain?”

“Belum kok Nis. Gurunya masuk tau-tau nulis soal. Paling cuma suruh maju satu-satu.”

Oh, untunglah aku bisa langsung paham dan mengerjakannya dengan cepat. Aku memang semauku. Kalau sedang benar-benar niat pada suatu hal aku akan bersungguh-sungguh menjalaninya serta memikirkan segala cara agar tujuanku tercapai. Tapi jika aku tidak benar-benar menginginkan apa yang diharapkan orang-orang di sekitarku maka aku akan melepasnya begitu saja.

“Nis, ayo ikut gak e? Kita tinggal lho, udah laper banget nih. Jangan ngelamunin dia terus dong”

“Oiya, tungguin bentar! Weh, ngelamunin siapa emangnya? Aku gak ngelamunin siapa-siapa kok yeee!”

Waduh, rupanya aku memang benar-benar memikirkan segala cara agar tujuanku tercapai. Menurutmu aku orang yang ambisius ya? Salah. Aku hanya berhenti pada proses memikirkan banyak cara, timing, resiko dan keuntungan dari beberapa opsi buatanku. Makanya aku jadi sering melamun akhir-akhir ini. Semuanya gara-gara insiden soto belakang kehujanan. Lebih jelasnya, saat itu hari sudah malu-malu menunjukan wajah orange meronanya. Tapi hujan deras tiba-tiba mengubah wajah langit menjadi kelabu. Dan akupun terkena imbasnya. Janji yang sudah kunanti dengan ribuan degub jantung sejak kemarin malam hancur berantakan. Sebenarnya aku tidak berhak menyalahkan hujan. Walaupun langit tidak menangis, dia tidak akan datang. Sungguh, aku sudah terlanjur percaya. Percaya pada semuanya, pada dia yang akan datang dengan wajah berseri, pada suasana yang cerah namun sejuk, pada obrolan hangat yang akan mengikis waktu, pada kesan baik dia untukku, pada hal romantis yang akan mengisi hari-hariku dengannya. Mungkin lebih tepatnya aku terlanjur terlalu percaya pada harapanku. Sedihnya semua harapanku kosong. Karena merasa dibodohi aku menyalahkan hujan. Tapi ternyata hujan tidak salah. Lalu aku menyalahkan warung soto. Tapi tidak kutemukan juga bukti bahwa warung soto bersalah. Akhirnya aku menyalahkan diriku sendiri. Tapi sulit bagiku menemukan sesuatu yang salah karena pada kasus ini akulah yang paling dirugikan. Semalang-malangnya manusia tentu masih tersisa keberuntungan kan? Nah, aku percaya akan hal itu. Jadi tidak mungkin aku yang salah, pasti ada sesuatu yang terlewatkan untuk disalahkan. Akhirnya aku menyadari jawaban teka-teki kasus warung soto kehujanan. Wah wah, ternyata memang hanya itu yang tersisa. Tentu saja “alasan mengapa dia tidak menepati janjinya”lah yang menjadi tersangka utama kasusku ini. Dan sejak kemarin aku masih terus memikirkannya. Dengan melamun tentunya.

“Nis, kamu pesen apa sih? Kok lama banget datengnya, bentar lagi bel lho.. Gimana nih? Padahal habis ini ada ulangan Geografi kan?”

“Mbeh, ho’o po Jah? Aku kok nggak dikasih tau e? Nis balik yo! Aku belum belajar sama sekali nih!”

“Yaudah, kamu makannya nanti aja pas istirahat kedua po? Aku sama Dea nemenin deh. Kasian Isma belum belajar, tadi malem aku juga baru belajar sedikit soalnya..”

“Gakpapa kan Nis? Yuk ke kelas! Kalo laper banget aku bawa kue sus spesial Ijah buat dimakan barengan kok! Tadi pagi sengaja taksiapin lho.. Maaf ya Nis, kamu gak marr... Nis? Oi! Denger gak sih?!”

“Nis? Haaallooow…?”

“Nis? Kamu gak kenapa-napa kan?”

“Nisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

“Eh! Iya iya aku denger kok! Habis ini ulangan bikin susnya Ijah kan? Yuk yuk! Selak bel!”

Aku berjalan santai meninggalkan kursi kantin yang sudah sepi. Aku menoleh ke belakang, tampak empat kawanku saling memandang dan sesekali melirik ke arahku sambil berbisik penuh curiga. Mereka juga tidak segera beranjak dari kursi panasnya. Tampaknya mereka sedang merencanakan sesuatu yang tokoh utamanya adalah aku. Mungkinkah? Ah sudahlah, kutunggu disini saja. Mungkin akulah yang terlalu banyak curiga.

“Eh bener kan? Nisa tu aneh banget hari ini. Dari tadi pagi dia ngelamun terus..”

“Apa mungkin gara-gara itu po? Tapi kemarin Nisa bilang gakpapa ke aku Rin, katanya kalo cuma hal kecil kayak gitu gak bakal ngaruh..”

“Kadang mulut sama hati itu gak sinkron kan? Menurutku dia bohong Jah”

“Mungkin aja biar kita gak khawatir? Soalnya diantara kita dia kan yang paling jarang cerita-cerita masalah pribadinya?

“Iya juga sih Rin, gimana nih? Mau kita selidiki gak? Kan ada aku yang anggota agen 553! Hehe”

“Wesseh Isma nggaya dumeh seneng banget arep dholanan detektif-detektifan..”

“Ah, Karin tu nyebelin e! Njelehi banget huuu!”

“Eh, aku boleh ngomong sesuatu gak?”

“ASTAGA! ULANGAN GEOGRAFI!!!! NISA JUGA UDAH KE KELAS! KITA DITINGGAL!!!”

“Nah, barusan itu Jah yang mau aku omongin dari tadi..”

“YA AMPUN DEA!! KOK GAK BILANG DARI TADI SIH?!”

“Kata Ibukku kalo ada orang ngomong jangan ikutan ngomong, kasian kan kalo gak ada yang dengerin…”

Suasana kelasku jadi makin ricuh. Bukan hanya karena anak-anak cowok yang hobi main perang-perangan, tapi ditambah dari kertas-kertas jawaban ulangan Geografi yang isinya karangan bebas semua. Empat kawanku juga makin ricuh kepadaku. Mungkin mereka marah karena tadi ditinggal begitu saja dari kantin belakang. Sesekali nakal itu perlu. Biarlah begini adanya karena mereka memang benar dan inilah konsekuensinya. Lagipula aku masih saja tidak terima mengapa harapanku menjadi kosong hanya karena ulah tersangka utama insiden warung soto kehujanan. Aku butuh banyak waktu untuk sendiri agar dapat memastikan apa yang sudah dipikirkan. Semoga mereka marah sampai kasus ini terpecahkan.
Setelah pelajaran Matematika yang menegangkan, akhirnya bel tanda pulang berdentang tiga kali. Aku cepat-cepat merapikan buku serta alat tulisku. Karena empat sekawan itu terus memancarkan aura negatifnya, kuputuskan untuk segera pulang. Saat melewati lorong dengan berlari kecil-kecil, aku berpapasan dengan dia. Jantungku serasa meledak. Entah apa yang kurasakan, sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seperti gembira namun sedih, malu tapi marah, suka tapi benci, tenang tapi gelisah, berani tapi takut, begitulah. Aku langsung mempercepat langkahku supaya dia tidak menyadari keberadaanku. Karena sedikit penasaran kulirik sebentar wajahnya yang kukagumi. Gawat, aku terpesona lagi. Segera saja kutepuk pipi bulatku keras-keras.
“Lho.. Dek Nisa ya? Wah kebetulan banget ketemu di sini. Oiya, emm.. Gini, aku minta maaf ya kemarin malah gak dateng, maaf banget ya Dek.. Padahal yang bikin janjinya aku, jangan marah ya Dek? Kemarin pas aku mau ke warung soto belakang, tiba-tiba aku inget kalo ada jadwal latian band. Ujian musiknya kan dimajuin, yaudah aku gak punya pilihan lain soalnya bandku baru latihan sekali.. Gimana dek? Mau maafin kan? Please ya..”
Seketika wajahku merah padam ketika mendengar suaranya yang menawan. Aku lalu memalingkan wajahku ke belakang.
“Oh, gitu.. Pantesan kok kemaren…”
Mulutku berhenti berkata-kata. Tatapanku kosong dan hatiku sesak. Ternyata tidak ada orang yang mengatakan “alasan mengapa dia tidak datang” dibelakangku. Takut. Aku sangat takut dan semakin takut. Rasanya sulit untuk percaya bahwa semua itu hanya khayalan. Hanya khayalan karena aku terlalu mengharapkan itu terjadi. Bahkan dibelakangku dia malah terlihat asyik bergurau dengan Mbak Kirana. Kian sesak dan semakin sesak. Tangisan yang terpaksa ditahan, kusimpan dengan sekuat tenaga sampai tiba di rumah. Untuk saat ini aku hanya bisa menatap senja yang malu-malu dari balik jendela kusam bus oranye tua. Mungkin aku pun malu-malu untuk segera menghabiskan airmataku. Aku juga enggan untuk segera berteriak keras-keras meluapkan amarah. Kenapa? Karena knalpot bus oranye tua ini terkenal dengan aumannya yang ganas. Pasti suara auman knalpotnya lebih keras mengalahkan teriakanku. Aku tidak mau melakukan sesuatu yang sia-sia. Jadi, kunikmati saja perjalan pulang ini apa adanya. Bus oranye tua pun tampak menikmati apa adanya sikap Pak Sopir yang ugal-ugalan.

Cinta Sebelah Tangan

aku mencintaimu
hingga senja pun tahu
sehingga selalu tersipu malu
saat kita bersama
aku sangat mencintaimu
bulan pun mengerti bahwa
aku selalu menjagamu dari
jahatnya gelap malam
aku amat mencintaimu
sampai-sampai kicauan pagi
melantunkan melodinya
agar pagi kita terasa indah
aku akan selalu mencintaimu di semua waktu
di semua jejak kaki yang kita tinggalkan
di semua kuncup bunga yang kuberikan padamu
di semua kisahmu yang dibagi denganku
hingga akhirnya seluruh dunia pun tahu
betapa aku mencintaimu
namun entah mengapa
kamu tak pernah mau tahu