8.8.11

Tentang Kota Truk

Ya, mulai tahun ajaran baru ini aku akan menetap di Semarang untuk sementara. Sebenarnya aku tidak terlalu setuju dengan kepindahan ini, aku sudah terlanjur merasa nyaman di sini. Rasanya baru saja aku berhasil beradaptasi dan mendapatkan sahabat baru. Baru saja aku bisa melupakan insiden 'kepental' dari sekolah favorit. Baru saja bangkit untuk berdiri lagi. Baru saja bermimpi untuk membuat sekolahku terkenal dengan beragam event keren. Baru saja hal yang kumulai dengan susah payah akan diakhiri tiba-tiba. Tapi, ini bukan sekedar masalah setuju tidak setuju, tanggung jawabku sebagai anaklah yang membuatku harus menerimanya.

Masih dengan setengah hati, aku akhirnya menurut. Kakakku mencoba membuka pikiranku, "Harusnya kamu seneng bisa ngrasain tinggal di luar Jogja. Aku aja nyesel dari kecil sampe sekarang cuma ubek di Jogja thok.. Ini tu pengalaman buat sangumu pas kuliah besok. Udahlah, gausah takut gak dapet temen.. Orang yang satu tujuan sama kita tu pasti ada, tinggal masalah ketemu apa enggak.."

Yup, respon pertamaku mendengar kalimat itu tentu saja tidak setuju. Memangnya ada apa waktu kita kuliah besok? Memangnya harus dipikirin sekarang? Memangnya tidak bisa jika tanpa persiapan? Memangnya terjamin di sana kelak aku menemukan orang yang setujuan? Memangnya aku rela meninggalkan semua ini? Yang sudah susah payah kubangun. Lalu apa aku pergi begitu saja, meninggalkan tanggung jawabku sebagai wakil OSIS? Bagaimana dengan DIKAN? Bagaimana dengan semua rencanaku? Mengapa tiba-tiba berantakan begini?

Perlu waktu cukup lama untuk menjawab semua pertanyaan itu. Belum lagi dengan anakan pertanyaan di atas. Belum tentu juga aku mendapatkan semua jawabannya. Aku galau tingkat dewa. Aku harus berbuat apa disaat seperti ini? Aku harus bertanya pada siapa? Meminta saran kepada siapa? Siapa yang harus kudengar? Yang harus kupercaya?

Akhirnya aku lari pada sahabatku, teman-teman dekatku. Mereka kompak melarangku hijrah ke sana. Dari teman sekelas, sahabat, teman SMP dan tentu DIKAN. Walaupun alasan-alasan melarangku cukup manja tapi aku justru senang. Tiba-tiba aku merasakan rasanya dibutuhkan dan disayangi. Hati kecilku berkata bahwa aku tidak akan sanggup meninggalkan mereka semua. Membuatku berkata, "Tapi masih kayaknya kok, enggak wes nek jadi pindah.."
Dan dengan sepotong kata itu mereka percaya bahwa aku tidak akan pergi.