27.11.14

Di Suatu Perjalanan

    Dan pagi masih sepi. Aku berjalan menuju cahaya temaram di perempatan ujung jalan. Lampu jalan yang tampak reyot, memancarkan sinar kuning yang begitu hangat. Sesekali jangkrik berderik. Sesekali kereta api berlari bersama angin, menyapa langit dengan sapaan merdu peluit. Masih ada bulan setengah lingkaran terpasang di antara awan hitam. Selebihnya sunyi.

   Bukannya benci keramaian, tapi aku hanya kebetulan sendiri. Sepi tidak terlalu menggangguku. Dan sendiri bukan berarti sepi. Banyak hal yang bisa aku lakukan untuk menciptakan keramaian dalam sepi. Salah satunya dengan bersenandung. Mengeluarkan gelombang bunyi yang tersusun rapi, terseok-seok mencari celah diantara jangkrik, langkah kaki dan hembus angin. Dengan begitu kesunyian akan lenyap. Mereka akan hilang bersama keramaian yang kuciptakan. Pelan-pelan menghapus kesendirian. Namun entah mengapa aku justru merasa semakin sepi.

   Sejujurnya aku tak begitu paham arti dari kesendirian itu sendiri. Bagaimana kesendirian selalu dikaitkan dengan sepi, atau bagaimana keramaian selalu dikaitkan dengan kebahagiaan. Apa mungkin aku terlalu bodoh untuk memahami hal yang paling wajar dimengerti oleh semua orang? Atau aku adalah orang jenius yang pertama kali menanyakan arti kesendirian? Entahlah. Aku tidak terlalu memusingkan apa jawabnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya kesendirian dalam sepi dan bagaimana rasanya kesendirian dalam bingar. Kesendirian mana yang lebih menyiksa? Atau keduanya sama-sama sangat menyiksa? Jika keduanya berhasil menyiksaku, apakah itu artinya aku menjadi orang yang paling malang? Apakah itu artinya aku menjadi orang yang paling mengerti kesendirian? Jika iya, bukankah aku semestinya bahagia, karena berhasil menjadi satu-satunya orang yang mengetahui rahasia dari misteri kesendirian? Ah, mungkin saja hanya khayalku yang selalu mengidamkan kebahagiaan, padahal yang aku punya hanyalah kesendirian. Lalu aku menganggap bahwa menjadi orang yang paling dekat dengan kesendirian adalah salah satu bentuk dari kebahagiaan. Ah, sudahlah. Segala kesendirian ini terlanjur membawa pikiranku berkelana terlalu jauh. Sepertinya sudah cukup bagiku untuk mempertanyakan apa itu kesendirian, sepi, keramaian dan keterkaitannya.

   Langit mulai berwarna. Cahaya kuning temaram yang sedari tadi semakin redup, kini tergantikan oleh semburat rona merah di ufuk timur. Kakiku sudah lelah melangkah. Pun pikirku. Aku berdiam sejenak, berkutat dalam tanda tanya yang tak lelah membujukku untuk segera memilih jalan pulang. Dengan hela napas panjang, kuputuskan untuk mengambil arah kiri, sembari memikirkan apa arti dari kebahagiaan.

18.7.14

Perbincangan di Bulan November (bagian kedua)

       Semestinya dia sudah berada di bangku nomor tiga dari gerbang taman di utara kolam air mancur. Arlojiku sudah menunjukkan pukul lima sore. Tapi dia tak kunjung menampakkan diri. Padahal aku sudah menyiapkan segala kata-kata yang sedemikian rupa kurangkai dalam suatu skenario dialog pembelaan. Aku sudah susah payah menghapalkannya dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan arah improvisasiku. Yah, tapi apa gunanya jika ia tak kunjung datang? Akhirnya, dengan bersungut aku pun melangkah pulang. Diiringi detik-detik kecil arlojiku yang bergerak menuju angka delapan.

Seharusnya aku tahu ini sia-sia. Ini sudah hari ketiga semenjak hari dimana aku dipermalukan. Sampai-sampai aku menyiapkan lebih dari dua naskah monolog. Hahaha, sungguh aku semakin malu pada diriku sendiri. Sebenarnya aku tak mengerti apa yang aku lakukan. Mengapa aku begitu percaya kepada seseorang yang tak kukenal yang bahkan mempermalukanku pada percakapan pertama? Sebegitu besarnya kah rasa penasaranku untuk menguak misteri di balik sorot matanya yang begitu tidak biasa? Kurasa memang benar. Dan karena itulah saat ini senyumku mengembang dengan segera ketika sosok bayangan itu melangkah kemari. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, tampak kecoklatan diterpa senja. Langkah yang ringan namun pasti semakin mendekat. Kedua tangannya bersembunyi di balik hangatnya saku jaket hijau tua. Dia tersenyum, lalu duduk dengan santai tepat di sebelahku.

“Tampaknya kamu begitu bahagia melihatku. Benar kan?”

“Maaf?”

“Hahaha… Sudahlah, tak usah berpura-pura. Kamu pikir aku bodoh ya?”

“Bagaimana bisa anda berkata begitu?”

“Jangan kira aku tak tahu apa yang kamu lakukan selama ini.”

“Memangnya saya melakukan apa ya? Sesuatu yang membuat anda terlihat bodoh? Justru saya yang seharusnya marah karena tempo hari anda mempermalukan saya!”

“Ah, apa maksudmu tentang kesunyian yang aku pertanyakan? Hahaha… Jadi kamu merasa tersindir atas kesunyianmu? Begitu? Lalu karena kesunyianmu teramat nyata, kamu kesal lalu merasa berhak marah pada orang asing yang berkata jujur?”

“Saya sungguh tak paham dengan apa yang anda bicarakan!”

“Hei, jangan sewot begitulah… Dan yang lebih penting, hentikan berbicara dengan tutur saya-anda. Bukankah kita telah saling mengenal? Bukankah kita sangat akrab?”

“Bagaimana bisa anda, maksud saya, kamu berbicara seperti itu? Sejak kapan kita sama-sama merasa sudah saling kenal? Semua yang kamu katakan sepertinya omong kosong.”

“Jadi begitu, sepertinya kamu benar-benar menganggapku bodoh.”

“Bagaimana mungkin ka…”

“Tentu saja mungkin! Sudah kubilang kan, aku tau apa yang kamu lakukan. Bukankah kamu seseorang yang selalu memperhatikanku dari kejauhan ketika aku duduk di bangku nomor tiga dari gerbang taman di utara kolam air mancur? Bukankah kamu seseorang yang selalu menerka berbagai hipotesis ketika melihat sorot mataku yang… katamu sungguh tak biasa? Bukankah kamu seseorang yang…”

“Sebenarnya, siapa anda?!”

“Maksudmu, ‘siapa kamu’?”

“AH!”

“Hahaha… Padahal sudah kuberi waktu tiga hari supaya kamu bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk hari ini, lebih tepatnya percakapan ini. Tapi sepertinya kamu belum siap berbincang denganku ya? Sayang sekali, kupikir kamu orang yang cepat belajar…”

“Seberapa jauh kamu mengenalku?! Bagaimana kamu bisa mengenalku sedangkan aku sama sekali tak mengenalmu?! Mengapa bisa begitu?! Hah?!”

“Selain bodoh dan sombong, tampaknya kamu juga tidak santai ya…”

“TOLONG JAWAB PERTANYAANKU, ORANG ASING!”

“Kamu berharap aku menjawab apa? Bukankah katamu, apa-apa yang kukatakan hanyalah omong kosong belaka?”

Aku tersentak, diam dalam kebisuan. Percakapan kedua ini akhirnya ditutup dengan cara yang sama. Lagi-lagi dia berhasil mempermalukanku dengan kata-kata indah namun menyakitkan. Ah, rasanya aku ingin menghilang di hadapannya. Hal apa yang lebih memalukan dari ‘dipermalukan oleh orang asing yang sok tau’, dua kali? Terlebih dia orang asing yang tau segalanya tentangku. Bagaimana bisa hal-hal yang tidak masuk akal ini terjadi?

17.7.14

Perbincangan di Bulan November (bagian pertama)

 Terlalu banyak pertanyaan yang mengusik pikiranku. Tentang secangkir kopi hitam yang lambat laun mendingin, tentang senja yang meronakan jingga di pantulan kaca, tentang cekikik cicak tanpa jeda di dinding teras rumahku. Aku terbiasa menanyakan sesuatu yang sepertinya tidak terlalu membutuhkan jawaban. Aku terlanjur menikmati proses ketika curiga behasil merasuk pikiranku, lalu bertengkar dengan ingatan-ingatan di kepalaku dan akhirnya terhenti pada sebuah pertanyaan. Pertanyaan sepele yang dirancang sedemikian rupa agar bisa diperdebatkan. Pertanyaan yang akhirnya selalu menyita senja hingga malam tiba.

Semakin banyak pertanyaan memenuhi pikiranku. Sebenarnya kesal juga ketika terlalu banyak butir-butir tanda tanya di dalam daftar yang harus dijawab. Bagaimanapun, aku punya bagian kehidupan lain yang harus dilakoni selain bertanya dan menjawab. Mungkin kecintaanku pada rutinitas ini terlampau besar hingga meredam amarah yang seharusnya meledak. Bayangkan saja, ketika kamu telah bersusah payah mempertemukan kelegaan dengan kesangsian sepanjang malam, di pagi harinya justru mendapatkan kesangsian yang lain. Menjengkelkan memang, bermain dengan permainan yang selamanya akan mempermainkan pikiranku. Tapi entah mengapa, tak pernah bisa benar-benar kubenci. Sungguh, aku tidak bohong.

Mungkin semua bermula ketika tokek di langit-langit rumah berhenti bersuara. Saat itu aku masih sibuk dengan beberapa tugas kuliah yang menumpuk. Jam dinding menunjukkan angka sebelas. Masih terlalu awal untuk tidur karena banyak hal yang belum diselesaikan. Tentunya dibantu dengan secangkir kopi hitam tanpa gula. Rasa pahit yang tercecap adalah momen sederhana paling manis di dunia. Bagaimana tidak? Tingkat kepahitan paling pahit dari secangkir kopi tanpa gula seolah menyadarkan manusia bahwa pahitnya kehidupan tidak ada artinya. Ada kalanya manusia membesar-besarkan masalah yang menimpanya, memaki atas nama keadilan kepada Tuhan, mengumpat sepenuh hati supaya orang lain acuh. Merasa menjadi orang paling malang, merasa terjebak dalam pahit  yang paling pahit. Padahal secangkir kopi hitam tanpa gula hanya diam. Padahal secangkir kopi hitam tanpa gula semestinya adalah kepahitan yang paling jujur.

Begitulah, aku terbiasa berpikir dari hal kecil di sekitarku. Jika secangkir kopi hitam tanpa gula saja bisa menyita perhatianku, bagaimana dengan para manusia? Makhluk yang selalu kutemui setiap waktu. Makhluk yang sangat beraneka ragam, tak ada yang persis satu sama lain. Membuat penasaran, menimbulkan lebih banyak kegelisahan daripada hal lain yang bisa dijadikan objek permainan bertanya dan menjawab. Itulah alasan mengapa aku begitu senang mengamati manusia. Tiap manusia adalah hal kecil yang mempunyai detil-detilnya sendiri, memancarkan keunikan seolah berkata “Kemarilah, kau pasti ingin tahu kan?”

Permainan kesukaanku ini tak pernah mempunyai batasan waktu. Tiap objek yang kujadikan bahan mempunyai porsi masing-masing untuk bertemu dengan jawabannya. Perlu waktu singkat untuk memecahkan teka-teki mengapa kicau burung pipit di pagi hari terasa begitu merdu, mengapa bunga matahari di taman rumahku layu, mengapa lumut di tembok pagar menyerupai wajah serigala jahat. Berbeda dengan manusia yang selalu menghabiskan waktu lebih lama. Apalagi dengan manusia yang akhir-akhir ini kerap aku temui di penghujung sore. Seingatku, dia selalu duduk di tempat dimana aku bisa memperhatikannya dengan seksama. Dia laki-laki perokok yang suka melamun. Mungkin dia sama sepertiku, diam-diam hanyut dalam keheningan untuk meredakan kegundahan. Namun, ada yang lain dari caranya menyoroti kerumunan manusia yang lalu-lalang. Tatapannya menyiratkan begitu banyak emosi dalam satu waktu. Inilah yang membuatku terpacu untuk memburu alasannya. Mungkin ini akan menjadi permainan yang paling mengasyikkan.

Tak disangka, tiba-tiba dia menatapku lekat-lekat. Astaga, rupanya dia awas akan kehadiranku. Aku terpaksa diam, tak berkutik barang berkedip sekalipun. Dalam sekian detik, jarak mataku dan matanya menjadi sekilan tangan. Aku kikuk dan lagi-lagi hanya bisa terdiam.

“Sesunyi itukah?”

Aku masih membisu, dengan kebingungan yang makin menjadi.

“Sesunyi itukah, kamu?”

Sial, aku hanya menatapnya dan membiarkan kata-kata yang seharusnya keluar, tertahan di kerongkongan. Akhirnya perbincangan sepihak yang memalukan pun berakhir. Dia beranjak entah kemana, mengejar mentari yang hilang ditelan malam. Angin lalu berhembus lembut, menerpaku yang terpaku dalam kebekuan.

17.4.14

Kotak Hitam



  Entahlah, aku tak bisa mengingat semuanya dengan sempurna. Aku hanya ingat ketika rintikan hujan terjun perlahan-lahan, dengan hati-hati ke tanah kering di taman kecil depan rumahku. Taman mungil sederhana, tampak sesak dengan bunga warna-warni dan rumput liar yang saling berdesakkan. Mereka tampak bahagia ketika harus beradu dengan serbuan titik-titik air dari langit yang menghujam tanpa ampun. Hmm... meskipun ada sebagian dari pasukan hujan yang lebih memilih untuk terjun secara gemulai dan anggun. Ya, mereka dengan luwesnya merambat di kaca bagian luar dari jendela ruang tamu, mengalir tepat di depan kedua bola mataku. Di depan kedua bola mataku yang menatap jauh ke luar rumah. Jauh ke sana, entah kemana. Sangat jauh hingga semuanya terasa kosong dan tak nyata. Begitulah. Begitulah caraku menghabiskan sisa senja hingga gelap menceraiku dari tatapan kosong.

  Sudah kubilang berulang kali kan? Tak ada lagi yang bisa kuingat selain hujan dan tatapan kosongku. Sungguh, semua terjadi begitu saja, berlalu dengan cepat tanpa menyilakanku untuk mengingat semua peristiwa yang seharusnya bisa kuceritakan kembali padamu. Aneh, memang. Aku pun heran mengapa hanya bagian itu saja yang tak bisa kuingat, barang secuil pun. Bagian yang entah mengapa, aku tahu itu terjadi tapi aku tak tahu apa yang terjadi. Hilang ingatan? Mungkin. Tapi sepertinya terlalu berlebihan karena aku hanya lupa pada satu kenangan. Satu kenangan yang seolah-olah ingatanku menolak untuk membahasnya lagi, merundingkannya apalagi menceritakan ulang padamu. Hmm... Sebentar, beri aku waktu sejenak untuk memikirkan suatu cara. Mungkin saja ini adalah cara terbaik untuk memecahkan teka-teki kenangan yang hilang. Begini, bagaimana jika aku berunding dengan ingatanku terlebih dahulu, berdua saja? Benar-benar perbincangan intim antara aku dan ingatanku supaya ingatanku mau merundingkan kenangan yang hilang agar nantinya kenangan yang hilang itu bisa kuceritakan kembali padamu. Bagaimana? Bukan ide yang buruk kan? Apapun hasilnya, berhasil atau tidak itu bukan urusanku. Aku hanya berusaha membujuk ingatanku supaya mau membongkar rahasia terbesarnya. Rahasia terbesar yang disembunyikan rapat-rapat hanya untuk menghilangkan sosok kenangan yang sebenarnya masih ada. Entah, kenangan macam apa yang berani-beraninya membuat ingatanku begitu ketakutan, bahkan hanya untuk mengakui keberadaannya. Sampai berpura-pura lupa, berpura-pura tak pernah tahu, repot-repot mencari sudut tergelap untuk menyembunyikan kenangan sial itu. Ah, mengapa jadi jengkel begini ya? Huh.

  Hujan sepertinya masih marah. Entah marah pada siapa, karena apa dan sampai kapan. Aku hanya penonton dan tugasku sangatlah sederhana. Ya, menyimak bagaimana tetes demi tetes air itu jatuh, menerka nada yang mungkin tercipta dari cipratannya, menikmatinya. Menikmati tiap fragmen dalam peristiwa hujan. Menikmati dari bangku utama, bangku yang diatur sedemikian rupa agar posisi paling nyaman bisa didapatkan. Bangku sederhana dari kayu jati berumur ratusan tahun, tanpa bantalan dan ukiran yang berlebihan. Bangku coklat keemasan yang sengaja diletakkan di balkon putih. Satu-satunya bangku yang dipasangkan dengan meja tanpa laci di sebelah kanannya. Bangku kesayangan yang tak pernah bosan menjadi teman baik di suasana yang sama. Suasana yang tercipta ketika hujan deras turun di malam hari, saking derasnya sampai-sampai cekcok dahsyat tetangga sebelah pun tak terdengar. Kejadian yang sama, berulang-ulang tapi bangku seolah tak jenuh apalagi protes. Tidak seperti ingatanku yang kini sedang mengomel tanpa henti karena jengkel dengan segala bentuk interogasi. Hahaha... Tampaknya aku harus berhenti sejenak agar ingatanku pun berhenti merajuk. Baiklah, tiga belas hari sudah lebih dari cukup untuk tahap awal misi ini. Kira-kira seminggu lagi aku akan mencoba cara lain yang jauh lebih baik. Cara paling ampuh untuk melumpuhkan segala bentuk pertahanan ingatanku. Yap, pasti ada cara terbaik untuk menemukan identitas kenangan yang terkekang tanpa celah. Tujuh hari lagi dan semuanya akan jelas, tujuh hari lagi.

  Hari ini hujan tidak datang. Sudah empat hari berlalu sejak hari terakhir aku duduk di balkon. Karena tidak ada hujan maka tempat paling nyaman untuk menghabiskan siang adalah kamar tidur. Ruang pribadi dengan jendela setengah lingkaran yang terpasang apik di dinding biru muda pastel, dilengkapi pendingin ruangan dan televisi persegi panjang tipis. Di salah satu sudut ruang, meja kecil merah muda terlihat sangat manis. Di sudut lain, almari putih tulang tampak menawan dengan kesederhanaannya. Dan di atas kasur berkualitas super inilah tempatku merebahkan diri, menengadahkan kepala memandang langit-langit berhias lukisan gumpalan awan. Sungguh, tak ada siang yang lebih surgawi daripada saat ini. Semuanya sangat sempurna. Membuatku tak ragu untuk mencoba memejamkan mata. Perlahan-lahan, memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Sesekali kelopak mataku memberanikan diri untuk mengintip detik jam dinding meski dengan gelagatnya yang malu-malu, sambil terus menahan kantuk. Tepat ketika jarum penunjuk menit berada di antara angka tiga dan empat, akhirnya aku terlelap. Memasuki dunia gelap dan fana, memulai sebuah fantasi yang dirangkai dalam alur cerita tak terduga. Awalnya hitam, lambat laun menjadi abu-abu lalu putih menyilaukan. Beberapa saat terhenti di latar putih lalu beralih ke suatu fokus. Dataran antah-berantah, sangat luas berselimut rerumputan hijau pada bukit-bukitnya. Sendirian, di tempat asing tanpa satupun papan penanda lokasi. Senyap, tak ada suara sama sekali. Kosong, benar-benar tak ada jejak kehidupan. Hampa. Bingung. Hampa. Kesal. Hampa. Sedih. Hampa. Takut. Hampa. Takut. Takut. Takut dan takut. Aku sangat takut. Apa yang harus kulakukan? Mengapa tiba-tiba berada di sini? Adakah pintu keluar? Bagaimana cara mencarinya? Tolonglah, siapapun jawab aku. Tolong!

  Hitam, semuanya tampak hitam. Membuka dan memejamkan mata pun tak ada bedanya. Hanya hitam, hitam dan hitam. Rasanya aneh, sungguh. Melayang-layang di udara, raga seolah larut dalam gelap. Perasaan yang sama di tempat berbeda. Ya, ketakutan yang sama masih saja menghantui bahkan semakin menjadi di dalam gulita. Sial, rupanya aku tersesat terlalu jauh. Bagaimana bisa begini ya? Sialan! Semakin lama aku justru semakin muak! Aku harus marah pada siapa?! Siapa yang harus kusalahkan?! Siapa hah?! Siapaaaa?!

  “Dirimu sendiri…”

  “??!!”

  “Dirimu sendiri yang salah, dasar tolol.”

  “Hah?!”

  “Hahaha…”

  “Sialan! Keluar kau! Jangan hanya sembunyi!”

  “Bukannya tidak mau, aku hanya takut.”

  “Maksudmu?!”

  “Ah… Kamu tidak berubah ya... Masih sama, masih selalu tunduk dan patuh pada emosi. Sudah kubilang kan, aku terlalu takut untuk menampakkan diri. Takut untuk membuatmu semakin takut.”

  “Tak usah basa-basi, kampret!”

  “Hmm… Bagaimana ya? Tapi jangan salahkan aku, ini maumu sendiri lho…”

  Sejenak suasana kembali hening. Degup jantung yang diburu kecemasan terpaksa mengisinya. Aku tidak bisa melakukan apapun lagi, hanya diam dan menunggu sesuatu yang menakutkan benar-benar terjadi. Dari kejauhan, entah dari sudut sebelah mana, sayup-sayup terdengar suara bising. Dengan tiba-tiba mendekat sangat cepat lalu berdentum keras di telingaku. Seketika cipratan merah menyala dalam gelap, lalu berubah menjadi pasang-pasang mata yang berkedip dan memelototiku. Terus dan terus menatapku tajam hingga terdengar suara tawa terbahak-bahak. Tak lama, suara perbincangan dan gurauan menambah hiruk pikuk. Teriakan dan makian pun turut membuat suasana semakin berisik. Semua membaur menjadi satu, berulang-ulang dengan tempo yang dipercepat. Hingga akhirnya lengkingan teriakan panjang memecah suasana. Isak tangis yang meledak lalu menutup semuanya. Menutup semua suara-suara berisik, semua percakapan-percakapan, semua janji dan canda tawa yang pernah didengar dan diucap. Menutup semua kata yang datang dari masa dimana segalanya begitu indah dan menyenangkan. Repot-repot datang kemari hanya untuk menyapaku, dengan bentuk yang sama sekali berbeda.

  Terik mentari semakin menyengat. Dengan segera aku membuka mata, terbangun dari mimpi buruk tentang masa lalu. Kaget, mengapa aku berada di balkon? Bukankah seharusnya aku tertidur di kamar? Bagaimana bisa begini? Aneh, sungguh aneh. Apa mungkin aku benar-benar hilang ingatan? Atau memang ada yang sengaja mengerjaiku? Siapa? Bukankah aku hanya sendiri di sini? Ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu lelah, hingga tak bisa mengingat bagaimana semuanya bermula. Aku segera beranjak dari lantai balkon. Lantainya sedikit basah, menyisakan semburan air hujan yang entah turun kapan. Sambil berlalu, kutengok meja di sudut balkon. Aku terdiam sesaat, penuh curiga dan tanda tanya. Semakin lekat aku menatap, semakin langkahku mendekat. Rupanya memang benar, benda yang terbuat dari kayu berbentuk kubus dengan balutan hitam pekat itu benar-benar ada. Di depan mataku tersuguh kenyataan yang paling ingin aku ingkari. Kenyataan yang berhasil membohongiku di masa lalu. Kenyataan yang sebelumnya telah berhasil disembunyikan dengan rapi oleh ingatanku sehingga aku tak menyadarinya. Kenyataan yang merupakan jawaban dari teka-teki yang selama ini aku selidiki dengan susah payah. Kenyataan yang pada akhirnya ingin aku musnahkan.

  Angin berhembus lembut di sela langkah kakiku. Aku beranjak, pergi meninggalkan kotak hitam itu sendirian. Mulai berkelana untuk mencari dan menemukan kotak lain. Kotak kosong yang nantinya dipenuhi dengan berbagai hal baru. Kotak yang mungkin saja berakhir sama, menjadi hitam. Mungkin juga berakhir untuk menjadi yang terakhir. Tenang, semua hanya masalah waktu. Aku hanya perlu mengingkari lelah dan melanjutkan langkah. Langkah kaki yang tak terasa sudah semakin menjauh dari balkon rumahku. Dari sana aku mendengar kotak hitam itu berbisik.

  “Kau membenciku?”

  “Tentu saja.”

  “Begitukah?”

  “Ya.. Dan cara terbaik untuk membencimu adalah dengan tidak membencimu.”

9.1.14

Persimpangan

bukan lagi tentang siapa yang lebih dulu berkata
karena selalu ada rumpang yang enggan untuk disinggahi
sudahlah, jawabanku terlanjur tersesat dalam pertanyaanmu
dan kita sama-sama berpura lupa
sepakat untuk diam lalu berjalan ke arah berbeda
jangan ulangi, bukankah memang inginkan sepi?