27.11.14

Di Suatu Perjalanan

    Dan pagi masih sepi. Aku berjalan menuju cahaya temaram di perempatan ujung jalan. Lampu jalan yang tampak reyot, memancarkan sinar kuning yang begitu hangat. Sesekali jangkrik berderik. Sesekali kereta api berlari bersama angin, menyapa langit dengan sapaan merdu peluit. Masih ada bulan setengah lingkaran terpasang di antara awan hitam. Selebihnya sunyi.

   Bukannya benci keramaian, tapi aku hanya kebetulan sendiri. Sepi tidak terlalu menggangguku. Dan sendiri bukan berarti sepi. Banyak hal yang bisa aku lakukan untuk menciptakan keramaian dalam sepi. Salah satunya dengan bersenandung. Mengeluarkan gelombang bunyi yang tersusun rapi, terseok-seok mencari celah diantara jangkrik, langkah kaki dan hembus angin. Dengan begitu kesunyian akan lenyap. Mereka akan hilang bersama keramaian yang kuciptakan. Pelan-pelan menghapus kesendirian. Namun entah mengapa aku justru merasa semakin sepi.

   Sejujurnya aku tak begitu paham arti dari kesendirian itu sendiri. Bagaimana kesendirian selalu dikaitkan dengan sepi, atau bagaimana keramaian selalu dikaitkan dengan kebahagiaan. Apa mungkin aku terlalu bodoh untuk memahami hal yang paling wajar dimengerti oleh semua orang? Atau aku adalah orang jenius yang pertama kali menanyakan arti kesendirian? Entahlah. Aku tidak terlalu memusingkan apa jawabnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya kesendirian dalam sepi dan bagaimana rasanya kesendirian dalam bingar. Kesendirian mana yang lebih menyiksa? Atau keduanya sama-sama sangat menyiksa? Jika keduanya berhasil menyiksaku, apakah itu artinya aku menjadi orang yang paling malang? Apakah itu artinya aku menjadi orang yang paling mengerti kesendirian? Jika iya, bukankah aku semestinya bahagia, karena berhasil menjadi satu-satunya orang yang mengetahui rahasia dari misteri kesendirian? Ah, mungkin saja hanya khayalku yang selalu mengidamkan kebahagiaan, padahal yang aku punya hanyalah kesendirian. Lalu aku menganggap bahwa menjadi orang yang paling dekat dengan kesendirian adalah salah satu bentuk dari kebahagiaan. Ah, sudahlah. Segala kesendirian ini terlanjur membawa pikiranku berkelana terlalu jauh. Sepertinya sudah cukup bagiku untuk mempertanyakan apa itu kesendirian, sepi, keramaian dan keterkaitannya.

   Langit mulai berwarna. Cahaya kuning temaram yang sedari tadi semakin redup, kini tergantikan oleh semburat rona merah di ufuk timur. Kakiku sudah lelah melangkah. Pun pikirku. Aku berdiam sejenak, berkutat dalam tanda tanya yang tak lelah membujukku untuk segera memilih jalan pulang. Dengan hela napas panjang, kuputuskan untuk mengambil arah kiri, sembari memikirkan apa arti dari kebahagiaan.