18.10.15

Penasaran

    Matamu berkedip, begitu pun aku. Di balik kaca tipis yang menumpu pada hidungmu, aku bisa menakar seberapa hitam warnamu dibanding warnaku. Tak sepekat yang kuduga,  cenderung kecoklatan dengan lingkaran dalam yang lebih gelap, dihiasi detil-detil kecil yang lebih terang di sekelilingnya. Dari sana terpancar cahaya yang begitu teduh dan menghanyutkan. Tanpa sadar membuat kita sepakat untuk memulai sebuah perbincangan tanpa kata. Diam-diam bertukar sapa, berbagi kabar, bercerita. Pelan-pelan memberanikan diri untuk saling menerka rasa, memburu celah untuk menyelipkan asa di antara tanda dan tanya. Semua terbungkus rapi dalam sebuah rahasia, tak akan ada yang tahu. Hanya kita berdua yang mendengar betapa suara hati bisa sangat berisik di lintasan sepanjang tiga petak ubin besar. Kemudian matamu berkedip untuk kedua kalinya, begitu pun aku. Tertegun, ragu-ragu mengakui bahwa satu detik yang tadi memang lebih lama dari biasanya. Lalu kita sama-sama memalingkan wajah, menatap langit-langit, menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kaki. Seketika kesunyian kembali mengisi tiap sudut ruang. Ah, tampaknya semua imaji memang harus diakhiri dengan, “Mungkin hanya perasaanku saja...”

26.1.15

Anonim






10 Menit


  Ada sepuluh petak keramik melintang ke selatan, sementara delapan belas petak lainnya membujur ke timur. Keramik berwarna putih kecoklatan dengan semburat merah di tiap sisinya tampak sama dari sini. Padahal jika dilihat dengan seksama, tiap coraknya sama sekali berbeda. Ada yang menyerupai kumis kucing tanpa mata, ada yang seperti balon ada pula yang mirip wajah Ibuku. Jika ingin mengamati lebih dalam lagi, ada beberapa keramik yang bolong-bolong. Dari sana  keluar semut hitam yang berukuran lebih besar dari semut merah bergantian dengan semut hitam yang berukuran lebih kecil dari semut merah, masuk ke dalam membawa serpihan-serpihan bahan pangan. Begitu terus sampai nanti.

  Tiba-tiba cicak mendekati salah satu lubang hitam tersebut, merayap pelan-pelan lalu tiba-tiba menyergap kawanan semut hitam malang. Si cicak dengan santainya menjilati lubang beserta semua isinya dengan cekatan. Setelah itu cicak berlari ke tembok putih yang berada sekitar delapan meter dari tempatku sekarang duduk. Cicak lalu menembus celah eternit yang mulai keropos diserang jamur warna hitam. Dari sana terdengar cekikiknya, tentu saja bersama kawan-kawan lainnya.

  Eternit yang mulanya putih, kini sedikit kekuningan. Kadang hujan terlalu jahat menyerang atap rumahku yang sudah tua, sehingga airnya masuk lalu menetes sedikit demi sedikit ke badan eternit. Eternit yang mulanya muda pun kini menjadi ikut-ikutan tua. Begitu pun aku yang nantinya berumur enam puluh tahun, keriput sana-sini memenuhi sekujur badan, karena dimakan usia. Lalu nanti cucuku bertanya mengapa pesawat bisa terbang atau bagaimana cara menirukan suara kucing. Lalu setelah lelah berulang-ulang menjawab aku mengembalikan tubuh mungil itu ke gendongan Ibunya yang tak lain adalah anakku.

  Bagaimana ya rasanya menjadi tua? Nanti sudah tidak bisa berlari sana-sini, berjalan pun lambat. Teman-teman ada yang pergi lebih dulu, ada yang masih hidup tapi juga tak akan sering bertemu. Nanti makan jadi susah, tak bisa mengunyah makanan enak; bisanya makan bubur. Bagaimana ya rasanya menjadi tua?

  Aku memegang helai-helai rambutku. Masih hitam, untungnya masih hitam.
  “Jangan tiba-tiba menjadi putih yaa..”
  Sembari mengusap-usap segenggam rambut dengan jari-jari tanganku, terlihat sesuatu berwarna merah muda bergerak memutar ke arah bawah. Rupanya jarum detik jam dinding kamarku. Jarum menit yang tadi terdiam di angka tiga akhirnya memutuskan untuk transit di angka lima. Rupanya sudah sepuluh menit. Terdengar teriakan Ibuku yang memanggil berulang-ulang, menyuruhku untuk segera mandi, tanpa alasan lagi.