18.1.17

Sesak


bulan tergantung
terang, tinggi

cakrawala gelap
titik-titik silau

dielus angin
menggigil

napasku seperempat
kambuh

debu siang juga
tentu kotor

tidur saja
semoga bangun
lagi

9.1.17

Taken From My Tiniest Diary


Someday, in case you start to doubt anything about me or this weird relationship, or choose to forget this kind of magic really happened between us, or just to kill the time in your precious moment of solitude, please read these words with the utmost sincerity though mine isn’t as good as yours. This is all about my ordinary stories in one randomly day since I started doing this lovely connection with you. Actually, I don’t really like to share my secrets with you virtually, but what else I can do now?

(Page 312-402)

It started in the morning when I woke up early than any other days before I met you. I never woke up at 3:00 AM except there were some important things to do like finishing homeworks, or preparing home made lunch box when I thought the money couldn’t save my life till the last day of the month. But back then, I didn’t know why suddenly my tired eyes opened and I just did nothing. I stared the pink wall out without any purpose, still tried to remember what was the last part of my dream. Then I smiled because out of nowhere your handsome face slowly showed up, really made me blushed quickly. I couldn’t stop myself to keep imagining some beautiful stories with you in the future. And that was how I often forgot about the killer morning lecture, so I went late to class regularly.

In the afternoon, I always felt anxious when I was walking in your comfort area because I realized there were so many opportunities to meet you coincidentally. I did want to see you and maybe made a move to say hello first but I didn’t want to look ugly in front of you because I knew that I wasn’t pretty enough to make a good impression. So, I decided to never go there much less to sit without bought some foods. Your words about me before were right, the opinions that I was too afraid to love and rambled too much about anything. But I guessed you didn’t know the facts about; I never forgot to think about you in every slightest second of a hectic day, nor I didn’t remember exactly how much I touched my phone just to stalk if there was any news from you. I was crazy about all the small details in those poems which I could correlate with mine. And to hide the great excitements from my friends, I always acted gloomy in every single way. They started to worry then kindly told me to be happy always. Surely I’d do, even they didn’t ask.

And in the night, I thought more deeply about you. I tried to figure out all the things that made you sad nor mad. I tried to feel all the pains that came from your darkest past so I could find the best healer then brought it to you. I wanted you to know that I didn’t mind to give all my happiness for you. I also wanted to be a girl who could hurt you so badly then made you cry endlessly in a long road of desperations. I’d feel very happy because I knew that you really loved me madly. But I wondered again if I was right or wrong. I finally decided that it was better to be happy than to be sad. I desired to make you happy no matter how hard it would be. I wanted us to be happy together. Then lately, I could feel that some tiny things inside me constantly moved around, they had been biggering and started to burst out, strongly pounded against all my dignities. I was afraid again of making some mistakes unconsciously and failed to impress you in the classy ways. So, I didn’t want to look cheesy to confess easily that probably I was so-very-damn-really-great-extra-super-duper-mega-hyper-ultra-to the max-to the moon and back-to the pluto and back-to the heaven but not back-truly in love with you.

Oh, almost forgot to tell you that I always did pray to God in the most silent way before my own eyes closed, so you could sleep easily in your lonely nights, so you were not sad anymore, so you could be stronger than ever, so you could find your true self, so you could make this world full of peace, so you could embrace all the things you loved, so you could chase your hardest dream, so you could always be happy with or without me.


See you, my favorite stranger.

7.1.17

A Li(f)e


what an endlessly questions,
where to find the answers,
when we start the game,
why we play it fun,
and who will win,
and how it ends.

Perhaps




Someday, I'll tell this story to my children before they sleep soundly.

(in one breath)


There is a blue sky above the million ordinary creatures with a head and two legs who dream to own tiny thing called globe and wish to be the only one winner but nothing happened then decide rashly to join the dark side with funny toys called wars and pray to die in a happiest way because of the evils mindset that teach shit about sharing is an ugly thing so just believe in one god called egoism and use the name of peace to earn heaven alone and kindly give hell freely without asking the owner first then throw fucking endlessly smiles to gather the minions and build the greatest castle in the dumbest kingdom so the world can materialize the imaginary of sitting comfortly in a gold king's chair and use a beautiful crown that made from the purest blood and tears of the innocents to boost pride in the glamorous night of lies that shine bright as the diamond dance floor where many royal parties start then dictate the time to freeze forever so the sun never rise in the morning of tomorrow's hope.

4.1.17

Aku dan Buku

Pertemuanku dengan buku bukanlah sesuatu yang luar biasa, mungkin malah tidak memiliki nilai-nilai keindahan untuk dijadikan bumbu dalam sebuah cerita yang sarat dengan inspirasi supaya layak untuk selalu dikenang oleh orang-orang di kotak terdalam ingatan mereka. Mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku tidak terlahir dalam keluarga yang kental akan budaya literasi, aku tidak jatuh cinta dengan buku pada pandangan pertama, aku bahkan butuh waktu yang lama hanya untuk menyadari keberadaannya. Aku pernah menganggap buku itu tidak penting karena merasa bahwa ia bukanlah bahan yang cukup keren untuk dibahas di sela-sela makan malam atau di sela-sela tayangan televisi yang menawarkan produk-produk ajaib nan utopis. Aku juga pernah menganggap buku sebagai penemuan paling membosankan yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. Aku tidak mengerti bagaimana bisa seseorang dapat menemukan kesenangan atau kedamaian jiwa hanya dengan memandangi ratusan lembar kertas yang berisi deretan kata-kata memusingkan sepanjang malam. Aku ragu untuk memberikan kepercayaanku pada buku dan segala kerumitannya, ragu pada waktu yang harus diluangkan untuk menghabisinya, ragu pada kejujurannya yang mungkin kucerna sebagai sebuah kebohongan; atau sebaliknya.

Segalanya menjadi menarik ketika aku menyadari adanya suatu kekosongan dalam diri yang entah bagaimana selalu berhasil mengusik di setiap kesempatan, menjadi kegelisahan yang tak wajar, seiring menuanya usia bersama alam semesta. Aku merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang banyak hal, tertinggal jauh dalam putaran-putaran dunia yang tak pernah istirahat, lalu terhenti di barisan paling belakang. Aku malu pada ketidakmampuanku untuk segera mengisi kekosongan tersebut seorang diri. Aku juga malu untuk sekadar bertanya pada orang-orang tentang apa saja yang telah kulewatkan. Aku malu untuk mengakui bahwa begitu banyak waktu yang telah kubuang sia-sia dengan sengaja. Aku malu karena terlambat mengetahui bahwa ternyata selama ini aku hanya jalan di tempat, berlari kencang pun percuma. Aku malu karena menjadi asing pada diri sendiri. Dan aku malu pada buku yang tetap menatapku lembut sembari menawarkan senyum penuh maaf yang tulus.


Begitulah, buku telah menyelamatkanku dengan caranya yang paling sederhana; membiarkanku menyibak helai-helai aksaranya secara perlahan, tak pernah marah jika sesekali aku perlu mengintip halaman sebelumnya, dan tak akan dendam bila aku terlanjur penasaran pada apa yang tersembunyi di akhir cerita. Buku akan selalu seperti guruku, atau temanku, bahkan orangtuaku. Ah, buku mungkin juga bisa menjadi kekasihku.

1.1.17

(catatan-catatan pendek dari masa lalu yang disusun sedemikian rupa agar menjadi sebuah cerita yang lebih panjang untuk dibaca kembali di masa depan)



Aku ragu pada setiap laki-laki yang berani mengatakan rahasianya padaku;
bahwa dia memiliki rasa kasih sayang yang berlimpah,
lalu berencana untuk membaginya sampai mati hanya denganku.

Dengan segera, secara tidak sadar aku akan menutup segala kemungkinan yang ada untuk mencegah terciptanya relasi; bahkan hanya untuk sebuah pertemanan yang tulus.

Aku tidak peduli pada perkataan orang-orang yang menganggapku sombong atau sangat pemilih.

Aku hanya peduli pada hal-hal yang kuanggap baik,
misalnya pada sebuah keputusan untuk tidak melukai perasaan orang lain dengan sengaja dalam waktu yang lama.

Lagipula aku tidak cantik, tidak pintar
dan tidak memiliki banyak uang dari orangtua yang kaya raya.

Aku heran pada apa yang sebenarnya kulakukan selama ini,
penasaran pada apa yang ingin kucapai dalam hidup,
mengenai cinta dan lainnya.

Mungkin aku tersesat terlalu jauh dalam pikiranku sendiri,
tentang konsep-konsep cinta anak sekolahan atau putri kerajaan di buku cerita.

Aku ingat saat duduk di bangku taman kanak-kanak,
pertama kalinya merasakan pengalaman "senyum-senyum sendiri" sepanjang hari.

Aku ingat saat duduk di bangku sekolah dasar,
pertama kalinya merasakan tekanan batin yang teramat besar karena tidak punya teman.

Aku ingat saat duduk di bangku sekolah menengah pertama,
pertama kalinya menyadari bahwa dunia itu luas.

Aku ingat saat duduk di bangku sekolah menengah atas,
pertama kalinya memahami bahwa angan-angan tanpa usaha itu omong kosong.

Aku juga ingat saat pertama kalinya kuliah,
diam-diam berjanji pada diri sendiri untuk tidak tersenyum pada siapapun agar terlihat seperti orang yang cuek.

Aku meyakini kebenaran tentang konsep:
cinta itu menyenangkan,
percaya pada orang asing itu sulit,
orang asing ada dimana-mana,
keinginan itu harus ditebus dengan kerja keras,
melindungi diri sendiri itu penting.

Lalu tiba-tiba aku membayangkan bahwa kebahagiaan akan segera datang dalam komposisinya yang pas;
tidak lebih dan tidak kurang.

Karena aku selalu khawatir pada perputaran dan keseimbangan,
jika saat ini terlalu senang maka di waktu yang akan datang pasti menjadi terlalu sedih.

Aku takut dan tidak bisa berbuat apa-apa,
padahal sudah tahu ingin bahagia tapi tidak berani berusaha.

Aku takut melakukan kesalahan.

Semua kesalahan yang berkeliaran di pikiranku, misalnya kesalahan yang sama atau kesalahan yang belum pernah kulakukan dan seharusnya bisa kuhindari dari awal tetapi tetap saja terjadi.

Aku takut pada banyak hal yang menyenangkan
maupun menyedihkan.

Aku takut menyukai orang yang tidak menyukaiku,
aku takut orang yang kusukai menyukai orang lain,
aku takut disukai orang lain yang tidak kusukai.

Jika aku menyukai orang yang menyukaiku pun rasa takut itu tetap ada.

Aku takut dibohongi oleh orang yang menyukaiku,
oleh konsep yang kuyakini kebenarannya,
oleh diriku sendiri yang percaya bisa membuat orang yang kusukai tersenyum.

Mungkin orang yang kusukai itu kamu,
memang rasanya aneh karena kamu adalah orang asing.

Aku takut mengakui bahwa ternyata aku benar-benar menyukaimu.

Aku takut mengakui bahwa ternyata aku sama sekali tidak pantas; bahkan hanya untuk menyukaimu.

Aku takut ketika nanti kamu berbicara tentang suatu hal lalu aku tidak mengerti;
mungkin karena belum pernah mendengar atau pernah mendengar tapi tidak mencari tahu lebih dalam,
aku hanya diam dan tidak bisa mengikuti betapa asyiknya rangkaian alur perbincangan yang ingin kamu lakukan bersamaku.

Aku hanya diam, mungkin tersenyum dan pura-pura mengerti;
atau pura-pura lupa padahal tidak mengerti sama sekali.

Aku takut peristiwa itu akan sering terjadi dan kamu mulai curiga
bahwa sebenarnya perasaanmu padaku bukanlah cinta.

Aku takut menghadapi kenyataan bahwa lambat laun penyesalanmu akan semakin nyata,
lalu dengan raut tidak enak kamu akan berkata lembut padaku sebelum pergi,
"Maaf, sepertinya semua ini sia-sia."


Lalu aku hanya diam, pura-pura tersenyum lalu tertawa.

Awalnya pelan lalu semakin keras, akhirnya terbahak-bahak agar tidak disangka menangis karena sedih.