4.1.17

Aku dan Buku

Pertemuanku dengan buku bukanlah sesuatu yang luar biasa, mungkin malah tidak memiliki nilai-nilai keindahan untuk dijadikan bumbu dalam sebuah cerita yang sarat dengan inspirasi supaya layak untuk selalu dikenang oleh orang-orang di kotak terdalam ingatan mereka. Mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku tidak terlahir dalam keluarga yang kental akan budaya literasi, aku tidak jatuh cinta dengan buku pada pandangan pertama, aku bahkan butuh waktu yang lama hanya untuk menyadari keberadaannya. Aku pernah menganggap buku itu tidak penting karena merasa bahwa ia bukanlah bahan yang cukup keren untuk dibahas di sela-sela makan malam atau di sela-sela tayangan televisi yang menawarkan produk-produk ajaib nan utopis. Aku juga pernah menganggap buku sebagai penemuan paling membosankan yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. Aku tidak mengerti bagaimana bisa seseorang dapat menemukan kesenangan atau kedamaian jiwa hanya dengan memandangi ratusan lembar kertas yang berisi deretan kata-kata memusingkan sepanjang malam. Aku ragu untuk memberikan kepercayaanku pada buku dan segala kerumitannya, ragu pada waktu yang harus diluangkan untuk menghabisinya, ragu pada kejujurannya yang mungkin kucerna sebagai sebuah kebohongan; atau sebaliknya.

Segalanya menjadi menarik ketika aku menyadari adanya suatu kekosongan dalam diri yang entah bagaimana selalu berhasil mengusik di setiap kesempatan, menjadi kegelisahan yang tak wajar, seiring menuanya usia bersama alam semesta. Aku merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang banyak hal, tertinggal jauh dalam putaran-putaran dunia yang tak pernah istirahat, lalu terhenti di barisan paling belakang. Aku malu pada ketidakmampuanku untuk segera mengisi kekosongan tersebut seorang diri. Aku juga malu untuk sekadar bertanya pada orang-orang tentang apa saja yang telah kulewatkan. Aku malu untuk mengakui bahwa begitu banyak waktu yang telah kubuang sia-sia dengan sengaja. Aku malu karena terlambat mengetahui bahwa ternyata selama ini aku hanya jalan di tempat, berlari kencang pun percuma. Aku malu karena menjadi asing pada diri sendiri. Dan aku malu pada buku yang tetap menatapku lembut sembari menawarkan senyum penuh maaf yang tulus.


Begitulah, buku telah menyelamatkanku dengan caranya yang paling sederhana; membiarkanku menyibak helai-helai aksaranya secara perlahan, tak pernah marah jika sesekali aku perlu mengintip halaman sebelumnya, dan tak akan dendam bila aku terlanjur penasaran pada apa yang tersembunyi di akhir cerita. Buku akan selalu seperti guruku, atau temanku, bahkan orangtuaku. Ah, buku mungkin juga bisa menjadi kekasihku.

No comments:

Post a Comment