18.7.14

Perbincangan di Bulan November (bagian kedua)

       Semestinya dia sudah berada di bangku nomor tiga dari gerbang taman di utara kolam air mancur. Arlojiku sudah menunjukkan pukul lima sore. Tapi dia tak kunjung menampakkan diri. Padahal aku sudah menyiapkan segala kata-kata yang sedemikian rupa kurangkai dalam suatu skenario dialog pembelaan. Aku sudah susah payah menghapalkannya dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan arah improvisasiku. Yah, tapi apa gunanya jika ia tak kunjung datang? Akhirnya, dengan bersungut aku pun melangkah pulang. Diiringi detik-detik kecil arlojiku yang bergerak menuju angka delapan.

Seharusnya aku tahu ini sia-sia. Ini sudah hari ketiga semenjak hari dimana aku dipermalukan. Sampai-sampai aku menyiapkan lebih dari dua naskah monolog. Hahaha, sungguh aku semakin malu pada diriku sendiri. Sebenarnya aku tak mengerti apa yang aku lakukan. Mengapa aku begitu percaya kepada seseorang yang tak kukenal yang bahkan mempermalukanku pada percakapan pertama? Sebegitu besarnya kah rasa penasaranku untuk menguak misteri di balik sorot matanya yang begitu tidak biasa? Kurasa memang benar. Dan karena itulah saat ini senyumku mengembang dengan segera ketika sosok bayangan itu melangkah kemari. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, tampak kecoklatan diterpa senja. Langkah yang ringan namun pasti semakin mendekat. Kedua tangannya bersembunyi di balik hangatnya saku jaket hijau tua. Dia tersenyum, lalu duduk dengan santai tepat di sebelahku.

“Tampaknya kamu begitu bahagia melihatku. Benar kan?”

“Maaf?”

“Hahaha… Sudahlah, tak usah berpura-pura. Kamu pikir aku bodoh ya?”

“Bagaimana bisa anda berkata begitu?”

“Jangan kira aku tak tahu apa yang kamu lakukan selama ini.”

“Memangnya saya melakukan apa ya? Sesuatu yang membuat anda terlihat bodoh? Justru saya yang seharusnya marah karena tempo hari anda mempermalukan saya!”

“Ah, apa maksudmu tentang kesunyian yang aku pertanyakan? Hahaha… Jadi kamu merasa tersindir atas kesunyianmu? Begitu? Lalu karena kesunyianmu teramat nyata, kamu kesal lalu merasa berhak marah pada orang asing yang berkata jujur?”

“Saya sungguh tak paham dengan apa yang anda bicarakan!”

“Hei, jangan sewot begitulah… Dan yang lebih penting, hentikan berbicara dengan tutur saya-anda. Bukankah kita telah saling mengenal? Bukankah kita sangat akrab?”

“Bagaimana bisa anda, maksud saya, kamu berbicara seperti itu? Sejak kapan kita sama-sama merasa sudah saling kenal? Semua yang kamu katakan sepertinya omong kosong.”

“Jadi begitu, sepertinya kamu benar-benar menganggapku bodoh.”

“Bagaimana mungkin ka…”

“Tentu saja mungkin! Sudah kubilang kan, aku tau apa yang kamu lakukan. Bukankah kamu seseorang yang selalu memperhatikanku dari kejauhan ketika aku duduk di bangku nomor tiga dari gerbang taman di utara kolam air mancur? Bukankah kamu seseorang yang selalu menerka berbagai hipotesis ketika melihat sorot mataku yang… katamu sungguh tak biasa? Bukankah kamu seseorang yang…”

“Sebenarnya, siapa anda?!”

“Maksudmu, ‘siapa kamu’?”

“AH!”

“Hahaha… Padahal sudah kuberi waktu tiga hari supaya kamu bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk hari ini, lebih tepatnya percakapan ini. Tapi sepertinya kamu belum siap berbincang denganku ya? Sayang sekali, kupikir kamu orang yang cepat belajar…”

“Seberapa jauh kamu mengenalku?! Bagaimana kamu bisa mengenalku sedangkan aku sama sekali tak mengenalmu?! Mengapa bisa begitu?! Hah?!”

“Selain bodoh dan sombong, tampaknya kamu juga tidak santai ya…”

“TOLONG JAWAB PERTANYAANKU, ORANG ASING!”

“Kamu berharap aku menjawab apa? Bukankah katamu, apa-apa yang kukatakan hanyalah omong kosong belaka?”

Aku tersentak, diam dalam kebisuan. Percakapan kedua ini akhirnya ditutup dengan cara yang sama. Lagi-lagi dia berhasil mempermalukanku dengan kata-kata indah namun menyakitkan. Ah, rasanya aku ingin menghilang di hadapannya. Hal apa yang lebih memalukan dari ‘dipermalukan oleh orang asing yang sok tau’, dua kali? Terlebih dia orang asing yang tau segalanya tentangku. Bagaimana bisa hal-hal yang tidak masuk akal ini terjadi?

No comments:

Post a Comment