17.7.14

Perbincangan di Bulan November (bagian pertama)

 Terlalu banyak pertanyaan yang mengusik pikiranku. Tentang secangkir kopi hitam yang lambat laun mendingin, tentang senja yang meronakan jingga di pantulan kaca, tentang cekikik cicak tanpa jeda di dinding teras rumahku. Aku terbiasa menanyakan sesuatu yang sepertinya tidak terlalu membutuhkan jawaban. Aku terlanjur menikmati proses ketika curiga behasil merasuk pikiranku, lalu bertengkar dengan ingatan-ingatan di kepalaku dan akhirnya terhenti pada sebuah pertanyaan. Pertanyaan sepele yang dirancang sedemikian rupa agar bisa diperdebatkan. Pertanyaan yang akhirnya selalu menyita senja hingga malam tiba.

Semakin banyak pertanyaan memenuhi pikiranku. Sebenarnya kesal juga ketika terlalu banyak butir-butir tanda tanya di dalam daftar yang harus dijawab. Bagaimanapun, aku punya bagian kehidupan lain yang harus dilakoni selain bertanya dan menjawab. Mungkin kecintaanku pada rutinitas ini terlampau besar hingga meredam amarah yang seharusnya meledak. Bayangkan saja, ketika kamu telah bersusah payah mempertemukan kelegaan dengan kesangsian sepanjang malam, di pagi harinya justru mendapatkan kesangsian yang lain. Menjengkelkan memang, bermain dengan permainan yang selamanya akan mempermainkan pikiranku. Tapi entah mengapa, tak pernah bisa benar-benar kubenci. Sungguh, aku tidak bohong.

Mungkin semua bermula ketika tokek di langit-langit rumah berhenti bersuara. Saat itu aku masih sibuk dengan beberapa tugas kuliah yang menumpuk. Jam dinding menunjukkan angka sebelas. Masih terlalu awal untuk tidur karena banyak hal yang belum diselesaikan. Tentunya dibantu dengan secangkir kopi hitam tanpa gula. Rasa pahit yang tercecap adalah momen sederhana paling manis di dunia. Bagaimana tidak? Tingkat kepahitan paling pahit dari secangkir kopi tanpa gula seolah menyadarkan manusia bahwa pahitnya kehidupan tidak ada artinya. Ada kalanya manusia membesar-besarkan masalah yang menimpanya, memaki atas nama keadilan kepada Tuhan, mengumpat sepenuh hati supaya orang lain acuh. Merasa menjadi orang paling malang, merasa terjebak dalam pahit  yang paling pahit. Padahal secangkir kopi hitam tanpa gula hanya diam. Padahal secangkir kopi hitam tanpa gula semestinya adalah kepahitan yang paling jujur.

Begitulah, aku terbiasa berpikir dari hal kecil di sekitarku. Jika secangkir kopi hitam tanpa gula saja bisa menyita perhatianku, bagaimana dengan para manusia? Makhluk yang selalu kutemui setiap waktu. Makhluk yang sangat beraneka ragam, tak ada yang persis satu sama lain. Membuat penasaran, menimbulkan lebih banyak kegelisahan daripada hal lain yang bisa dijadikan objek permainan bertanya dan menjawab. Itulah alasan mengapa aku begitu senang mengamati manusia. Tiap manusia adalah hal kecil yang mempunyai detil-detilnya sendiri, memancarkan keunikan seolah berkata “Kemarilah, kau pasti ingin tahu kan?”

Permainan kesukaanku ini tak pernah mempunyai batasan waktu. Tiap objek yang kujadikan bahan mempunyai porsi masing-masing untuk bertemu dengan jawabannya. Perlu waktu singkat untuk memecahkan teka-teki mengapa kicau burung pipit di pagi hari terasa begitu merdu, mengapa bunga matahari di taman rumahku layu, mengapa lumut di tembok pagar menyerupai wajah serigala jahat. Berbeda dengan manusia yang selalu menghabiskan waktu lebih lama. Apalagi dengan manusia yang akhir-akhir ini kerap aku temui di penghujung sore. Seingatku, dia selalu duduk di tempat dimana aku bisa memperhatikannya dengan seksama. Dia laki-laki perokok yang suka melamun. Mungkin dia sama sepertiku, diam-diam hanyut dalam keheningan untuk meredakan kegundahan. Namun, ada yang lain dari caranya menyoroti kerumunan manusia yang lalu-lalang. Tatapannya menyiratkan begitu banyak emosi dalam satu waktu. Inilah yang membuatku terpacu untuk memburu alasannya. Mungkin ini akan menjadi permainan yang paling mengasyikkan.

Tak disangka, tiba-tiba dia menatapku lekat-lekat. Astaga, rupanya dia awas akan kehadiranku. Aku terpaksa diam, tak berkutik barang berkedip sekalipun. Dalam sekian detik, jarak mataku dan matanya menjadi sekilan tangan. Aku kikuk dan lagi-lagi hanya bisa terdiam.

“Sesunyi itukah?”

Aku masih membisu, dengan kebingungan yang makin menjadi.

“Sesunyi itukah, kamu?”

Sial, aku hanya menatapnya dan membiarkan kata-kata yang seharusnya keluar, tertahan di kerongkongan. Akhirnya perbincangan sepihak yang memalukan pun berakhir. Dia beranjak entah kemana, mengejar mentari yang hilang ditelan malam. Angin lalu berhembus lembut, menerpaku yang terpaku dalam kebekuan.

No comments:

Post a Comment