20.11.16

Biskuit Selai Kacang

Uang sakunya hampir habis. Bulan ini selalu sama dengan bulan-bulan yang lalu. Dia hanya mempunyai satu lembar uang kertas warna hijau. Dua puluh ribu rupiah untuk bertahan sampai hari Sabtu. Dia memandangi lagi laki-laki yang terlukis di lembaran itu, bertanya-tanya adakah cara untuk mengenyangkan perutnya selama sepuluh hari ke depan. Dia memejamkan matanya sejenak lalu membuang nafas pendek.  Kini sorot matanya tampak lebih bersinar dan penuh keyakinan. Dia mengambil kunci motornya dan segera melesat menembus malam.

Dia mendengus kesal, tampak kecewa dengan apa yang dilihat. Semula dia berpikir masih ada sisa uang yang bisa diambil dari mesin penarik uang di sudut minimarket. Sekarang semuanya jadi lebih rumit, jari-jarinya sedikit ragu untuk sekadar meraba kemasan warna-warni yang tersusun di rak-rak putih. Dia memang dikenal sebagai pemuda yang mudah merasa bersalah tanpa alasan yang pantas. Sejak memasuki pintu kaca dan mendengar selamat datang dari kasir, sebenarnya dia sudah bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Entah mengapa yang dikhawatirkan justru menjadi kenyataan, dia harus membeli sesuatu dari minimarket tersebut. Dia merasa tidak enak pada banyak hal; pada kasir yang mengawasinya, pada orang-orang yang sempat mengantri untuk menarik uang, pada waktu yang terbuang untuk sampai di tempat sekarang ia berpijak, dan tentu saja pada gambar lucu di bungkus makanan yang sudah menatapnya bahkan sebelum ia mendorong gagang besi yang mampu membunyikan bel bersuara pendek dengan dua nada.

Dengan cermat ia meneliti seluruh kata-kata, angka-angka dan tanggal berakhirnya penawaran. Setelah lima kali mengitari rak yang sama, dia berhenti. Di bagian paling bawah akhirnya senyum itu mengembang. Tanpa ragu dia mengambilnya, lalu berjalan ke kasir yang tampak bahagia karena segala kecemasan tentang hal-hal buruk yang mungkin dilakukan oleh seorang pemuda yang suka mondar-mandir dan tampak miskin itu sirna.


Dia sampai di rumah dengan selamat. Pelan-pelan dia membuka plastik warna merah itu dengan penuh kegembiraan. Tiba-tiba dia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan segera berakhir. Dia ingat ucapan Pak Ustadz tentang kaitan rezeki dengan orang mati saat dulu ia masih ingusan. Katanya, semua rezeki duniawi seseorang bakal habis dan itu terjadi ketika seseorang tadi sudah tidak berada di dunia. Dia merasa bersalah karena telah bertindak ceroboh dan kelewatan, mengambil terlalu banyak rezeki sekaligus. Dia tak pernah menyangka bahwa isi dari plastik merah itu lebih dari sekadar biskuit selai kacang. Baginya itu adalah kejutan terbaik yang pernah direncanakan meski dia tidak ulang tahun. Dia sekarang merasa bersalah karena berpikir bisa makan enak seperti bangsawan. Bagaimana tidak, biskuit selai kacang dengan ukuran mini, dengan ketebalan selai yang pas, dengan sedikit rasa garam di pinggirnya itu tentu benar-benar berhasil menyelamatkan hidupnya. Tidak ada lagi uang kertas, namun ada lima puluh keping biskuit dan sepuluh hari tersisa. Artinya, dia akan kenyang dengan memakan lima keping biskuit selai kacang setiap hari. Barangkali dia kelaparan, tapi dia melakukannya dengan cara terhormat. Ide untuk menjadi bangsawan yang hanya mau melahap makanan seukuran jari tentu saja merupakan penemuan terhebat sepanjang sejarah. Dia tertawa, senang.

No comments:

Post a Comment