18.11.16

Sudut Terang Di Ruang Gelap


Diam-diam dia menyukai laki-laki itu, idola dari semua gadis di sekolahnya. Dia pernah berpikir untuk mengutarakannya, berkali-kali. Sayangnya, niatan itu terpaksa dia urungkan ketika menyadari sesuatu saat bercermin. Selain takut ditolak, dia juga malu karena tidak lebih pintar dari semua gadis yang mengelilingi pujaan hatinya. Karena itulah dia lalu memutuskan untuk rajin tersenyum kepada siapapun, dimanapun. Dia pikir itu satu-satunya cara untuk menjadi orang baik, setidaknya memang benar bahwa itu adalah salah satu cara untuk terlihat seperti orang baik. Sejak saat itu dia terus melakukannya. Selalu tersenyum, tanpa lelah. Menangis pun tersenyum. Sampai-sampai semua orang dibuatnya bingung dan penasaran, apa yang tersembunyi di otaknya. Katanya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dunia ini kecuali tersenyum sampai mati. Karena sejak lahir dia terlanjur tidak cantik dan tidak kaya. Dia juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pintar, tapi gagal juga. Akhirnya dia memilih jalan yang tersisa, menjadi orang baik.

Padahal, dunia ini tidak sehitam-putih yang dia bayangkan. Tidak ada orang yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Menurutku sih, dia sudah ditipu habis-habisan oleh gagasannya sendiri tentang takdir yang tidak bisa diubah. Dia setengah-setengah, seperti orang yang tidak percaya Tuhan tapi takut pada setan. Maksudku, kenapa sih dia harus menyerah untuk menjadi pintar? Di antara semua takdir, hal itulah yang paling bisa diubah, bahkan bisa mengubah takdir lainnya. Dia terlalu cepat mengambil kesimpulan dan tidak mau mendengarkan nasehat orang. Makanya aku jadi kesal, lalu aku bilang padanya tentang semua hal yang kupikirkan. Dia lalu tersenyum. Bayangkan, sudah susah-susah kujelaskan sedemikian rupa agar dia mengerti, agar dia bisa menjadi orang baik sungguhan, bukan hanya orang yang terus-terusan tersenyum, agar dia sadar bahwa dia tidak boleh menjadi orang baik dengan alasan seperti itu, agar dia tidak terkejut ketika mengetahui fakta bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya orang baik, agar dia percaya bahwa selama ini yang dipikirkannya itu keliru, tapi dia cuma tersenyum! Satu kali senyuman tipis!

Aku ingin sekali memukul wajahnya yang seolah paham tapi tetap tidak mau menurut itu dengan buku catatan di tanganku sebisa mungkin melalui celah-celah sempit jeruji besi yang sedikit berkarat. Hampir saja, ketika dia tiba-tiba berkata,

“Kalau begitu, artinya selalu ada yang lebih hitam atau lebih putih, kan? Makanya, saya suka di sini karena ruangannya putih semua. Mbak boleh pintar tapi kalau jahat, sama saja dong? Gila, kayak saya hehe”


Aku pura-pura tidak mendengar, mencoba cuek pada bagaimana caranya menggerakkan sendi-sendi terkutuk di rautnya ketika mengatakan hal tersebut dengan manis dan percaya diri sebelum akhirnya tersenyum kembali. Sialan, sekarang aku jadi penasaran sebenarnya siapa yang gila.

No comments:

Post a Comment